Langit
terlihat amat cerah sore ini. Angin pun sepoi-sepoi berhembus, perlahan,
menyapa kulit dengan menyenangkan. Cuaca sore semacam ini yang biasanya
dimanfaatkan oleh Fulan untuk ber-jogging ria. Mengeluarkan keringat
sekaligus melatih stamina dalam tubuh. Namun kali ini berbeda. Ia diajak oleh
salah seorang teman dalam suatu kegiatan sosial. Penasaran, si Fulan pun
akhirnya ikut-ikutan. Kegiatan si teman ini kebetulan bergerak di bidang
pendidikan, secara spesifik; mengajar anak yang kurang mampu dalam hal ekonomi
di pinggir Jogja. Yang unik, para pengajar muda di kegiatan mingguan ini tidak
mengajar anak-anak secara formal, dengan meja, kelas, atau semacamnya. Mereka
hanya berbekal ilmu, buku, dan niat yang tulus. Fulan pun terkesima dengan
pemandangan ini.
Pertama
kali masuk ke dalam apa yang disebut “gang senggol” oleh mas Koordinator, Fulan
langsung berfikir, “wow, timpang banget ya. Di sebelah selatan sana keliatan
sebuah Mall dengan segala gemerlapnya. Sedangkan disini, hanya ada rumah kecil
berdempetan, dimana pemandangannya hanya Kali Gajahwong, sungai kotor yang
hanya sedikit lebih besar dari Selokan Mataram”. Namun, Fulan juga tak kalah
terkejut ketika kali pertama menjumpai anak-anak. Mereka sangat ceria,
semangat, dan antusias melihat “kakak gurunya” datang. Ini menandakan bahwa
mereka sebenarnya punya semangat belajar, hanya mungkin semangat tersebut
tertutup oleh beban kehidupan yang lain.
Sembari memperhatikan si teman dan
komunitasnya, Fulan juga mengamati tingkah polah para bocah ceria tersebut.
Saat mereka diajak bercerita, sangat aktif. Malah kesannya mereka yang lebih
suka bercerita daripada para gurunya. Fulan pun penasaran, ia pula mendekati
dan mendengarkan cerita salah seorang anak. Said namanya. Ia duduk di kelas 6
SD, namun ceritanya sangat mencengangkan. Menurut kisahnya, di dekat dusun itu
dahulu terdapat kasus pembunuhan. Ia kenal pembunuhnya, dan temannya pun bahkan
ikut jadi saksi. Ia juga bercerita lebih lanjut tentang balapan liar dengan
taruhan jutaan rupiah. Saat ditanya tentang cita-citanya, Said menjawab dengan
mantap, “jadi joki drag (balapan drag—balapan motor/mobil yang lintasannya
lurus, biasanya hanya sepanjang 100 - 400 Meter) ama pemain bola !”. Fulan pun
memuji cita-citanya, namun sambil menambahkan bahwa balapan itu beresiko. Ia
sebisa mungkin tidak ingin menceramahi bocah dengan kehidupan yang sudah keras
macam ini. Model anak seperti ini yang difikirnya harus dijadikan sahabat,
dirubah perlahan. Bukan malah jadi obyek ceramah.
Miris
memang mendengar cerita semacam ini meluncur dari bibir seorang anak kelas 6 SD
yang notabene tinggal di Kota Jogja, kota ber-stereotype ramah yang
penuh dengan sopan santun. Namun inilah realita kota besar, ada putih, tentu
saja ada hitam. Selama bertutur, Said pun kadang tertawa, menggoda temannya.
Seolah tak terjadi apa-apa pada kehidupannya selama ini.
Dalam
hati, Fulan memuji kegiatan si teman serta komunitasnya. Mereka telah bekerja
keras untuk sedikit demi sedikit merubah dan menanamkan kebaikan kedalam diri
anak-anak ini. Lingkupnya memang masih kecil, namun ini merupakan aksi nyata
yang jarang orang mau melakukannya. Berbuat baik, meski sedikit, jauh lebih
baik daripada beridealisme tinggi namun tanpa aksi nyata, tak berbuat apa-apa.
Sepulang
dari dusun tersebut, Fulan makin yakin bahwa dalam tiap diri orang itu terdapat
kebaikan. Tinggal orang tersebut mau atau tidak memelihara kebaikan tersebut.
Ibarat dalam tubuh kita terdapat dua serigala, yang satu bernama “KEBAIKAN”,
satu lagi bernama “KEBURUKAN”. Jika dua serigala ini bertempur, manakah yang
akan menang ?
…ya
serigala yang kita beri makan lah..