Tentang Ane

Tuesday, October 1, 2013

Aliran Semangat di Pinggir Kali

Langit terlihat amat cerah sore ini. Angin pun sepoi-sepoi berhembus, perlahan, menyapa kulit dengan menyenangkan. Cuaca sore semacam ini yang biasanya dimanfaatkan oleh Fulan untuk ber-jogging ria. Mengeluarkan keringat sekaligus melatih stamina dalam tubuh. Namun kali ini berbeda. Ia diajak oleh salah seorang teman dalam suatu kegiatan sosial. Penasaran, si Fulan pun akhirnya ikut-ikutan. Kegiatan si teman ini kebetulan bergerak di bidang pendidikan, secara spesifik; mengajar anak yang kurang mampu dalam hal ekonomi di pinggir Jogja. Yang unik, para pengajar muda di kegiatan mingguan ini tidak mengajar anak-anak secara formal, dengan meja, kelas, atau semacamnya. Mereka hanya berbekal ilmu, buku, dan niat yang tulus. Fulan pun terkesima dengan pemandangan ini. 

Pertama kali masuk ke dalam apa yang disebut “gang senggol” oleh mas Koordinator, Fulan langsung berfikir, “wow, timpang banget ya. Di sebelah selatan sana keliatan sebuah Mall dengan segala gemerlapnya. Sedangkan disini, hanya ada rumah kecil berdempetan, dimana pemandangannya hanya Kali Gajahwong, sungai kotor yang hanya sedikit lebih besar dari Selokan Mataram”. Namun, Fulan juga tak kalah terkejut ketika kali pertama menjumpai anak-anak. Mereka sangat ceria, semangat, dan antusias melihat “kakak gurunya” datang. Ini menandakan bahwa mereka sebenarnya punya semangat belajar, hanya mungkin semangat tersebut tertutup oleh beban kehidupan yang lain.
         
iki mung ilustrasi dab, tapi yo cah2 ceriane koyo ngene :)
      Sembari memperhatikan si teman dan komunitasnya, Fulan juga mengamati tingkah polah para bocah ceria tersebut. Saat mereka diajak bercerita, sangat aktif. Malah kesannya mereka yang lebih suka bercerita daripada para gurunya. Fulan pun penasaran, ia pula mendekati dan mendengarkan cerita salah seorang anak. Said namanya. Ia duduk di kelas 6 SD, namun ceritanya sangat mencengangkan. Menurut kisahnya, di dekat dusun itu dahulu terdapat kasus pembunuhan. Ia kenal pembunuhnya, dan temannya pun bahkan ikut jadi saksi. Ia juga bercerita lebih lanjut tentang balapan liar dengan taruhan jutaan rupiah. Saat ditanya tentang cita-citanya, Said menjawab dengan mantap, “jadi joki drag (balapan drag—balapan motor/mobil yang lintasannya lurus, biasanya hanya sepanjang 100 - 400 Meter) ama pemain bola !”. Fulan pun memuji cita-citanya, namun sambil menambahkan bahwa balapan itu beresiko. Ia sebisa mungkin tidak ingin menceramahi bocah dengan kehidupan yang sudah keras macam ini. Model anak seperti ini yang difikirnya harus dijadikan sahabat, dirubah perlahan. Bukan malah jadi obyek ceramah.

Miris memang mendengar cerita semacam ini meluncur dari bibir seorang anak kelas 6 SD yang notabene tinggal di Kota Jogja, kota ber-stereotype ramah yang penuh dengan sopan santun. Namun inilah realita kota besar, ada putih, tentu saja ada hitam. Selama bertutur, Said pun kadang tertawa, menggoda temannya. Seolah tak terjadi apa-apa pada kehidupannya selama ini.

Dalam hati, Fulan memuji kegiatan si teman serta komunitasnya. Mereka telah bekerja keras untuk sedikit demi sedikit merubah dan menanamkan kebaikan kedalam diri anak-anak ini. Lingkupnya memang masih kecil, namun ini merupakan aksi nyata yang jarang orang mau melakukannya. Berbuat baik, meski sedikit, jauh lebih baik daripada beridealisme tinggi namun tanpa aksi nyata, tak berbuat apa-apa.

Sepulang dari dusun tersebut, Fulan makin yakin bahwa dalam tiap diri orang itu terdapat kebaikan. Tinggal orang tersebut mau atau tidak memelihara kebaikan tersebut. Ibarat dalam tubuh kita terdapat dua serigala, yang satu bernama “KEBAIKAN”, satu lagi bernama “KEBURUKAN”. Jika dua serigala ini bertempur, manakah yang akan menang ?

…ya serigala yang kita beri makan lah..