Belakangan ini ane sering terpikir
mengenai pencarian “ilmu”. Yep, pikiran ini mungkin dilatarbelakangi oleh nilai
ane yang masih jeblok, plus skripsi yang masih tertinggal dari teman-teman
kebanyakan. Pasalnya, teman se-angkatan ane rata-rata udah pada habis SKS dan
sekarang sedang nyicil skripsi. Sedang ane sendiri masih mengejar
ketertinggalan SKS. Fyuuh. Emang sih, dalam 2 semester terakhir, udah ada
perkembangan. Namun rasanya masih jauh dari cukup. Jadinya, ane pun sekarang
masih berusaha belajar untuk bisa “belajar dengan baik”. Nah loh.
Dan ngomong-ngomong tentang belajar, masih terngiang
di kepala ane, salah satu perkataan Bapak dulu. Beliau membicarakan salah satu kata mutiara
dalam bahasa Arab dari Imam Al-Ghazali; Bahwa dalam aspek “ilmu”, Imam
Al-Ghazali menggolongkan manusia menjadi 4 tipe:
1. Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri
Tipe pertama yakni seseorang yang
tahu (berilmu), dan dia sadar bahwa dirinya tahu (berilmu). Seorang seperti ini kemudian haruslah
diikuti. Hal ini dikarenakan ia memang berilmu dan berkemungkinan besar
menularkan ilmunya pada orang lain, termasuk kita. Contoh dari orang tipe ini
adalah guru, pelatih, ustadz, dan temen pinter yang mau ngajarin ilmunya.
2. Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu
Yadri
Tipe kedua yakni seseorang yang
tahu (berilmu), namun dia tidak sadar bahwa dirinya tahu (berilmu). Seorang
seperti ini kemudian haruslah dibangunkan. Pasalnya, orang seperti ini
sebenarnya mempunyai potensi untuk dapat bermanfaat dalam skala yang lebih
luas. Namun ia diibaratkan masih “tertidur”; masih menyimpan ilmunya untuk
dirinya sendiri. Bisa jadi karena dilandasi ketidaktahuan bahwa dirinya lebih
berilmu daripada orang-orang di sekelilingnya. Contoh dari orang tipe ini
adalah seorang yang hidupnya biasa, pergaulan sewajarnya, lurus dan damai-damai
aja. Namun sebenarnya dibalik “kedamaian” hidup orang tersebut, katakanlah ia
mampu hidup damai karena sebenarnya berhasil melewati berbagai halangan dan
kesulitan berkat ilmunya. Bayangkan saja apabila orang seperti ini kemudian
menyebarkan ilmu yang bermanfaat tersebut ke (minimal) orang-orang di
sekelilingnya. Pasti akan jauh lebih bermanfaat.
3. Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu
Laa Yadri
Tipe ketiga yakni seseorang yang
tidak tahu (tidak berilmu), dan dia sadar bahwa dirinya tidak mengetahui (tidak
berilmu). Seorang seperti ini kemudian haruslah dibimbing dan diajari. Nah,
menurut ane disini, bahwa tipe mayoritas mahasiswa adalah tipe 2 dan 3. Bila
manusia tipe 2 menurut Imam Al-Ghazali adalah orang yang sebenarnya pinter tapi
ga sadar. Tipe 3 kebalikannya. Orang di tipe ini merasa membutuhkan banyak
bimbingan dan ilmu dari orang lain, karena sadar bahwa dirinya masih mempunyai
banyak kekurangan. Semangat ya.
4. Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri
Annahu Laa Yadri
Dan yang paling kasihan adalah tipe
terakhir. Ia adalah seseorang yang tidak tahu (tidak berilmu), namun dirinya
tak sadar bahwa dirinya tak mengetahui (tak berilmu). Seorang seperti ini
(dikatakan) haruslah ditinggalkan. Yang dimaksud disini ialah tipe orang yang
merasa selalu tahu terhadap segala sesuatu. Bila diajak diskusi, menggurui.
Bila diberi nasihat, malah mengumpat. Tipe orang keras dan tak berilmu yang tak
mau mengalah. Tinggalkan saja. Karena ia tak akan memberi manfaat. Kecualii..
bila kita adalah tipe 1 yang sabar pula.
Besar kemungkinan orang seperti ini masih dapat tertolong. Dan bila bisa
menolong orang tipe ini, kamu keren.
Dalam kaitannya sehari-hari, menurut ane keempat tipe
ini masih bisa dikategorikan penggunaannya dalam 2 level; Pertama, sebagai
patokan dalam menilai overall seseorang/diri sendiri secara menyeluruh. Kedua,
sebagai patokan dalam menilai bab/aspek ilmu tertentu dalam seseorang/diri
sendiri.
Sebagai contoh.
Level 1: Si Fulan menilai dirinya sendiri sebagai
manusia tipe 3 (Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri). Ia merasa
demikian karena ia masih merasa bodoh secara keseluruhan, dan masih harus
banyak belajar kepada siapa saja yang dianggapnya bisa memberikan ilmu.
Level
2: Si Fulan menilai dirinya sendiri pernah melalui bermacam kategori diatas.
Hal ini dikarenakan bahwa ia memang pintar (dan percaya bahwa dia cukup tahu)
di salah satu aspek seperti olahraga. Di bidang olahraga, ia tak segan-segan
untuk memberikan tips-tips bagi temannya yang membutuhkan. Namun disisi lain,
ia merasa amat bodoh dalam hal akademik, khususnya matematika. Ia sadar bahwa
ia tak tahu, dan karena itu ia mencari ilmu dari salah satu teman yang pandai
dalam aspek matematika.
Keduanya sama-sama bisa digunakan
untuk menilai diri sendiri/seseorang. Hal ini berangkat dari asumsi yang paling
umum; bahwa tak ada manusia yang sempurna. Dibalik kesempurnaan orang tipe 1,
pasti masih kekurangan, hal yang dia pun tak pandai. Dan dibalik
ketidaksempurnaan orang tipe 4, pasti ia pun masih mempunyai kelebihan.
Layaknya quote dari biksu kesayangan kita semua, Tong San Cong, “kosong adalah
isi. Isi adalah kosong”. Hahaha, mulai makin random. Stop ajalah.
Satu hal yang pasti, bahwa menilai
orang/diri sendiri itu mudah. Namun yang menjadi tantangan adalah apa tindakan
kita selanjutnya pada mereka/diri kita sendiri. Apakah akan kita ikuti ?
bangunkan ? bimbing ? atau tinggalkan ? monggo.
No comments:
Post a Comment