Tentang Ane

Monday, February 9, 2015

Charlie Hebdo; Benturan Fatal antara Kritisi Jurnalistik dan Sentimen Agama

*ngirim tulisan bulan lalu, tapi ga dimuat. Kasih sini aja dah. hehe.

Rabu pagi (7/1), suasana kota Paris yang tenang berubah bergejolak. Terjadi penyerangan di kantor Charlie Hebdo, sebuah kantor koran mingguan yang identik dengan karya berupa karikatur sindiran mengenai banyak hal, termasuk agama Islam. Penyerangan dilakukan oleh dua pria bertopeng. Mereka masuk kedalam kantor Charlie Hebdo dan kemudian melepaskan tembakan mematikan ke 11 orang yang kebanyakan adalah jurnalis. Mereka tewas ditempat. Pasca penembakan tersebut, kedua pelaku kemudian melarikan diri dengan membunuh seorang korban lagi, yakni seorang petugas polisi. Dengan membajak dua mobil, kedua pelaku berhasil melarikan diri ke Prancis bagian utara

Balas-Membalas
Kejadian ini bukan terjadi sekonyong-konyong tanpa alasan. Charlie Hebdo, sebagai lembaga jurnalistik yang menjadi korban, pasalnya telah berkali-kali melemparkan karikatur satirical (sindiran) mereka terhadap Nabi umat Muslim, Muhammad SAW. Dilansir dari Washingtonpost.com, Charlie Hebdo telah 3 kali merilis karikatur Muhammad SAW dalam rentang waktu 2006-2012. Hal ini kontan menimbulkan pro-kontra keras dari berbagai kalangan. Pada 2006, Charlie Hebdo menerbitkan sebuah karikatur Muhammad SAW yang bertujuan untuk menyindir para ekstremis. Meski pro-kontra muncul, namun hal itu tak terlalu berarti. Hingga kemudian pada 2011, karikatur kedua muncul, menjadikan Muhammad SAW sebagai cover. Sehari kemudian, kantor koran tersebut tiba-tiba dibom oleh pelaku tak dikenal. Hal-hal semacam ini tak pelak menimbulkan reaksi yang lebih keras dari Charlie Hebdo. Mereka menjadi lebih berani untuk mengkritik Islam dengan menjadikan Muhammad SAW sebagai wujud representasi untuk disindir. Terbukti dengan rilisnya karikatur Muhammad SAW selanjutnya pada 2012.
Respon Charlie Hebdo ini agaknya wajar, mengingat mereka adalah kumpulan jurnalis yang telah mengasosiasikan dirinya dengan label produk satirical-nya. Tugas jurnalistik bagi mereka adalah mengkritisi. Dimana kritik itu sendiri merupakan sebuah representasi dari idealisme yang pada akhirnya diwujudkan dalam sebuah karya. Dalam hal ini, mereka menggunakan sketsa karikatur sederhana yang dibumbui dengan sindiran sebagai wujud representasi kritik mereka terhadap keadaan masyarakat seisinya.
Disisi lain, masyarakat muslim pada umumnya, bahkan pada mereka yang bukan garis keras. Sewajarnya menanggapi sesuatu semacam karikatur Muhammad SAW tersebut sebagai suatu pukulan keras terhadap keyakinan mereka. Pasalnya, muslim telah diajarkan untuk tidak mewujudkan bentuk Nabi dalam bentuk apapun, termasuk gambar dan patung. Kritik dari Charlie Hebdo yang telah menyentuh sisi fundamental dari islam inilah yang kiranya menyulut ketegangan yang berakhir dengan penembakan pada Rabu lalu.
Konflik semacam ini; yang melibatkan antara benturan rasa kritisi jurnalistik, dengan rasa sentimen agama yang kuat, nantinya akan berpotensi untuk menyulut konflik yang lebih besar. Menurut Bartos & Wehr, sebuah konflik dapat tereskalasi karena disebabkan oleh faktor reciprocation (timbal-balik). Dalam artian, konflik tereskalasi bukan tanpa sebab. Namun karena serentetan kejadian balas-membalas dari kedua pihak yang disepanjang jalan hanya menjadi “bumbu” akan naiknya tensi konflik. Sebagai contoh, Charlie Hebdo membuat karikatur Muhammad pertama pada 2006, dengan tujuan untuk mengkritik para ekstremis Islam. Namun hal semacam ini menimbulkan pro-kontra, termasuk dari kubu para ekstremis. Balas-membalas terjadi, berulang kali. Hingga akhirnya berujung pada insiden berdarah Rabu lalu.

Dampak Penembakan

Melalui insiden ini, dapat kita simpulkan beberapa hal. Pertama, apapun alasannya, membunuh adalah sesuatu yang terlarang bagi kemanusiaan. Termasuk para pembunuh kartunis Charlie Hebdo yang mungkin saja beranggapan bahwa mereka adalah penoda agama Islam. Bagaimanapun, para karikaturis Charlie Hebdo beserta para pembunuhnya adalah manusia juga, yang bernaung dibumi yang sama. Kedua, sebuah konflik atau pro-kontra yang tak terselesaikan, dan hanya dibuntuti oleh serentetan pembalasan hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Sebuah permasalahan harusnya dapat diselesaikan selagi isu tersebut masih belum berujung konflik. Sebagai contoh, Charlie Hebdo sebenarnya dapat mewujudkan kritisi yang lebih sopan dengan tanpa mengikutkan wujud karikatur Muhammad SAW dalam karya-karyanya. Disisi lain, para muslim, apalagi bagi ekstremis, seharusnya dapat menyelesaikan masalah melalui meja hijau maupun lembaga lainnya yang lebih solutif dan berkredibilitas. Semua ini demi terwujudnya kedamaian masyarakat. Dan ketiga, bayangkan apabila hal ini terjadi berlarut-larut, maka yang terkena imbas terbesarnya adalah kaum muslim di Eropa. Jumlah kaum muslim di Eropa akhir-akhir ini pasalnya kian meningkat, yang sayangnya diiringi juga dengan kritik dan tindakan diskriminasi dari banyak pihak yang tak dapat menerima hal ini. Dengan adanya insiden penembakan Charlie Hebdo ini, maka besar kemungkinan bahwa kaum muslim di Eropa akan menjadi kian terjepit diskriminasi dan rasisme di mata masyarakat.

No comments:

Post a Comment