*ngirim tulisan bulan lalu, tapi ga dimuat. Kasih sini aja dah. hehe.
Rabu
pagi (7/1), suasana kota Paris yang tenang berubah bergejolak. Terjadi
penyerangan di kantor Charlie Hebdo, sebuah kantor koran mingguan yang identik
dengan karya berupa karikatur sindiran mengenai banyak hal, termasuk agama Islam.
Penyerangan dilakukan oleh dua pria bertopeng. Mereka masuk kedalam kantor
Charlie Hebdo dan kemudian melepaskan tembakan mematikan ke 11 orang yang
kebanyakan adalah jurnalis. Mereka tewas ditempat. Pasca penembakan tersebut,
kedua pelaku kemudian melarikan diri dengan membunuh seorang korban lagi, yakni
seorang petugas polisi. Dengan membajak dua mobil, kedua pelaku berhasil
melarikan diri ke Prancis bagian utara
Balas-Membalas
Kejadian
ini bukan terjadi sekonyong-konyong tanpa alasan. Charlie Hebdo, sebagai
lembaga jurnalistik yang menjadi korban, pasalnya telah berkali-kali
melemparkan karikatur satirical (sindiran) mereka terhadap Nabi umat
Muslim, Muhammad SAW. Dilansir dari Washingtonpost.com, Charlie Hebdo telah 3
kali merilis karikatur Muhammad SAW dalam rentang waktu 2006-2012. Hal ini
kontan menimbulkan pro-kontra keras dari berbagai kalangan. Pada 2006, Charlie
Hebdo menerbitkan sebuah karikatur Muhammad SAW yang bertujuan untuk menyindir
para ekstremis. Meski pro-kontra muncul, namun hal itu tak terlalu berarti.
Hingga kemudian pada 2011, karikatur kedua muncul, menjadikan Muhammad SAW
sebagai cover. Sehari kemudian, kantor koran tersebut tiba-tiba dibom
oleh pelaku tak dikenal. Hal-hal semacam ini tak pelak menimbulkan reaksi yang
lebih keras dari Charlie Hebdo. Mereka menjadi lebih berani untuk mengkritik
Islam dengan menjadikan Muhammad SAW sebagai wujud representasi untuk disindir.
Terbukti dengan rilisnya karikatur Muhammad SAW selanjutnya pada 2012.
Respon
Charlie Hebdo ini agaknya wajar, mengingat mereka adalah kumpulan jurnalis yang
telah mengasosiasikan dirinya dengan label produk satirical-nya. Tugas
jurnalistik bagi mereka adalah mengkritisi. Dimana kritik itu sendiri merupakan
sebuah representasi dari idealisme yang pada akhirnya diwujudkan dalam sebuah
karya. Dalam hal ini, mereka menggunakan sketsa karikatur sederhana yang
dibumbui dengan sindiran sebagai wujud representasi kritik mereka terhadap
keadaan masyarakat seisinya.
Disisi
lain, masyarakat muslim pada umumnya, bahkan pada mereka yang bukan garis
keras. Sewajarnya menanggapi sesuatu semacam karikatur Muhammad SAW tersebut
sebagai suatu pukulan keras terhadap keyakinan mereka. Pasalnya, muslim telah
diajarkan untuk tidak mewujudkan bentuk Nabi dalam bentuk apapun, termasuk
gambar dan patung. Kritik dari Charlie Hebdo yang telah menyentuh sisi
fundamental dari islam inilah yang kiranya menyulut ketegangan yang berakhir
dengan penembakan pada Rabu lalu.
Konflik
semacam ini; yang melibatkan antara benturan rasa kritisi jurnalistik, dengan
rasa sentimen agama yang kuat, nantinya akan berpotensi untuk menyulut konflik
yang lebih besar. Menurut Bartos & Wehr, sebuah konflik dapat tereskalasi
karena disebabkan oleh faktor reciprocation (timbal-balik). Dalam
artian, konflik tereskalasi bukan tanpa sebab. Namun karena serentetan kejadian
balas-membalas dari kedua pihak yang disepanjang jalan hanya menjadi “bumbu”
akan naiknya tensi konflik. Sebagai contoh, Charlie Hebdo membuat karikatur
Muhammad pertama pada 2006, dengan tujuan untuk mengkritik para ekstremis
Islam. Namun hal semacam ini menimbulkan pro-kontra, termasuk dari kubu para
ekstremis. Balas-membalas terjadi, berulang kali. Hingga akhirnya berujung pada
insiden berdarah Rabu lalu.
Dampak
Penembakan
Melalui
insiden ini, dapat kita simpulkan beberapa hal. Pertama, apapun alasannya,
membunuh adalah sesuatu yang terlarang bagi kemanusiaan. Termasuk para pembunuh
kartunis Charlie Hebdo yang mungkin saja beranggapan bahwa mereka adalah penoda
agama Islam. Bagaimanapun, para karikaturis Charlie Hebdo beserta para
pembunuhnya adalah manusia juga, yang bernaung dibumi yang sama. Kedua, sebuah
konflik atau pro-kontra yang tak terselesaikan, dan hanya dibuntuti oleh
serentetan pembalasan hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Sebuah
permasalahan harusnya dapat diselesaikan selagi isu tersebut masih belum
berujung konflik. Sebagai contoh, Charlie Hebdo sebenarnya dapat mewujudkan
kritisi yang lebih sopan dengan tanpa mengikutkan wujud karikatur Muhammad SAW
dalam karya-karyanya. Disisi lain, para muslim, apalagi bagi ekstremis,
seharusnya dapat menyelesaikan masalah melalui meja hijau maupun lembaga
lainnya yang lebih solutif dan berkredibilitas. Semua ini demi terwujudnya kedamaian
masyarakat. Dan ketiga, bayangkan apabila hal ini terjadi berlarut-larut, maka
yang terkena imbas terbesarnya adalah kaum muslim di Eropa. Jumlah kaum muslim
di Eropa akhir-akhir ini pasalnya kian meningkat, yang sayangnya diiringi juga
dengan kritik dan tindakan diskriminasi dari banyak pihak yang tak dapat
menerima hal ini. Dengan adanya insiden penembakan Charlie Hebdo ini, maka
besar kemungkinan bahwa kaum muslim di Eropa akan menjadi kian terjepit
diskriminasi dan rasisme di mata masyarakat.
No comments:
Post a Comment