Seminggu kemudian, tepatnya pada Minggu 20 Juli. Pasca
ngepul susu, kami pergi bersama untuk sekedar jalan2 di lereng Merbabu.
Tepatnya di dusun Selo. Niat awal kami yang mulanya jalan2, ternyata kemudian
mendapat fakta yang mencengangkan. Woooh
Mulanya kami
naik dengan tujuan mencari pemandangan indah. Hingga akhirnya kami sampai
(dengan tidak sengaja) di dusun Selo atas. Dan konon di daerah inilah terdapat
sumber air yang luarbiasa, hingga kemudian dinamakan daerah Thuk Babon (kata Tongki
sih; Thuk = mata air, Babon = besar) atau
Kuthuk Babon. Di dusun ini, air melimpah ruah. Hal ini terbukti dengan
memancarnya selang dan keran air dimana2. Seolah tak mampu lagi menampung
volume air yang ada.
Kami kemudian
fokus untuk tetep jalan2 (halah). Naik turun ladang, mendapatkan pemandangan
yang keren, hingga kemudian turun lagi. Di tengah jalan pulang di ladang, kami
melihat dari kejauhan; sebuah bak putih besar yang ada di tengah ladang. Kontan
kami teringat dengan perkataan Mas Agus yang tempo hari menunjukkan sebuah bak
putih yang terlihat kejauhan di atas lereng Merbabu. Mas agus berkata bahwa bak
tersebut lah yang mengirimkan air ke seluruh penjuru Selo. Anwar pun berkata
saat itu juga, bahwa kami harus mengunjungi desa di tempat bak tersebut.
Lanjut ya,
setelah beberapa saat, kami memutuskan untuk mengunjungi bak tersebut. kami pun
berjalan kesana. Turun dan berjalan beberapa saat. Kira2 4 meter sebelum kami
sampai bak, terdengar suara berisik riuh air. “wah bener nih…” saat itu
perasaan kami bercampur antara lega dan miris pula. Lega karena kami telah
menemukan dusun sumber permasalahan. Namun miris juga karena ternyata dusun
tersebut memang bermasalah, sama seperti yang digambarkan masyarakat Samiran.
belum punya foto lainnya. tapi ini foto pas jalan kearah bak penampungan air |
Di sepanjang
jalan saat turun pula, kami mendapati banyak sekali air dengan jumlah yang
mencengangkan bila dibandingkan dengan Samiran. Banyak darinya yang tumpah ke
selokan, mancur bocor dari pipa2 besi yang malang melintang disepanjang desa,
atau bahkan terbuang percuma dari tempat wudhu. Bandingkan dengan Samiran yang
airnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan seadanya, untuk wudhu di masjid pun
kadang habis. Apalagi untuk kebutuhan sapi perah. Beeeehhh, jangan tanya.
Komoditi utama
di Thuk Babon nampaknya adalah pertanian. Pertanian sayuran mahal coy ! cabe,
bawang merah, menghiasi ladang dan halaman rumah warga. Ah pantas saja rumah2
di dusun ini bagus2. Banyak yang punya mobil pula. Ketimpangan ekonomi nampak
jelas di dusun ini jika dibandingkan dengan Samiran. Kalo kata Soekarno, “siapa
yang menguasai minyak, ia menguasai hidup orang banyak”. Disini, kata “minyak” mungkin
lebih relevan kali yak kalo diganti dengan kata “air”.
Hmm,
nampaknya menantang pula untuk menyelidiki masalah air disini.