Tentang Ane

Monday, February 23, 2015

Inikah Rasanya...Jadi Wasit Juri ?



Bakk !! Bukk !!
Bakk !! Bukk !! Jdaaarrrr !!
“Hentiiiiiiiii….!”

Suara hantaman, benturan, dan pekikan khas inilah yang memadati Gelanggang Mahasiswa pada Sabtu (14/2) kemarin. Pasalnya, saat itu tengah diselenggarakan Kejuaraan Antar Kelompok Latihan (Kejurlat) Merpati Putih oleh UKM Merpati Putih UGM. Kejuaraan ini berlangsung selama dua hari, dan merupakan kejuaraan berlingkup se-DIY. Diikuti oleh 17 Kolat yang terdiri dari bermacam universitas dan SMA, Kejurlat 2015 kali ini berlangsung meriah. Terdapat empat kategori yang dipertandingkan; yakni kategori laga (fight), seni tunggal, stamina, serta power. 

            Dalam tulisan ini sendiri, ane bakalan lebih fokus bercerita mengenai curhatan ane sebagai wasit juri (lagi). Setelah menuai sukses pada perhelatan Kejurlat terakhir yang ber-level DIY-Jateng (ceileeeh), ane diminta bertugas lagi sebagai wasit-juri (wajur) dalam Kejurlat kali ini. Ane pun kontan menyanggupinya karena ane juga inget akan kapasitas diri yang masih amatiran. Dan event yang bersangkutan pun juga masih bersifat lokal. Tentu saja kemudian, curhatan yang berupa pandangan subyektif ane ini tak akan bisa dibandingkan dengan pandangan mas-mbak wajur IPSI beneran yang udah professional. Ini cuman curhatan seorang amatiran bro. hehe.
           
Hari pertama; babak penyisihan fight

            Di hari pertama ini, ane dan temen-temen memulai “kerja” kami. Dengan formasi; Mas Ajib yang telah berpengalaman sebagai wajur IPSI DIY sebagai Ketua Pertandingan, Mas Pekik dan Mas Pandu yang secara bergantian menjadi Sekretaris Pertandingan, dan kami yang masih unyu-unyu ini sebagai wasit jurinya. 

Kategori Laga; pokoke jotos-jotosan
  
            Babak penyisihan emang ane akui sebagai fase “risih” bagi wasit juri. Hal ini dikarenakan oleh dua hal: (1) dalam babak penyisihan, kami sebagai wajur (amatiran) istilahnya sedang “pemanasan”. Jadi kadang masih belum fokus betul. Hal ini diperparah jika ada wasit yang masih baru pertama kali mencoba turun ke arena pertandingan. Pasti dah si doi panas dingin adem sari cekat cekot tak karuan. Hahaha. (2) dalam babak penyisihan untuk event sekelas Kejurlat, banyak atlet yang turun adalah atlet baru. Bahkan benar-benar baru. Jadi bila dikatakan dari segi teknik, gaya bermain mereka masih “luar biasa” lah. Yap, benar-benar “diluar kebiasaan pesilat normal”. Hehe. Tak apalah, namanya juga baru pertama. Yang penting mencoba. Kan ada pepatah “A thousand miles journey begins with a single step”. Eniwei, para pesilat “luar biasa” inilah yang kadang membuat kami kewalahan. Entah karena pukulannya pake uppercut, nendangnya masih deket selangkangan, pake siku, peluk-pelukan, dst. Wiih, susah dilihat gan pokoknya. Hehehe. 
Kategori Seni; paduan menawan antara keluwesan dan kekuatan

Hari kedua; babak semifinal & final fight
 
            Di hari kedua ini kami jauh lebih siap dari sebelumnya. Para pesilat yang bermain di hari inipun lebih matang tekniknya. Jadi overall, lebih enak lah. Hanya, di hari kedua ini terdapat pertandingan final. Kumpulan beberapa partai terakhir yang paling prestigious dan paling panas. Pasalnya di pertandingan final inilah, semua kemampuan sang atlet dipertaruhkan untuk dapat keluar menjadi sang juara. Tak lupa pula para pendukung mereka. Para supporter yang berteriak dari kejauhan ini semangatnya tak kalah membara dari atlet-atlet yang mereka dukung. Sorak sorai membahana serasa membakar atmosfir Gelanggang malam itu. Nah, tekanan dari para supporter ini yang kadang memecah konsentrasi kami sebagai wajur yang bertugas di arena. Bayangkan saja, disaat ente jadi wasit, ngliatin orang jotos-jotosan. Berusaha ngamatin betul apa aja serangan mereka, ada pelanggaran atau nggak, pas jatuh sah atau nggak, atau malah pelanggaran… tiba-tiba banyak suara kolektif para supporter yang teriak-teriak sinis, bahkan mungkin mengintimidasi wasit juri. Itu malesin. Bener.
Kategori Stamina; lari..lari..lari..menaaaannggg

            Namun, bukan wasit juri namanya kalau tak ada solusi. Jika berhadapan dengan hal yang demikian, solusinya; anggap saja semua seperti para supporter biasa, dan tetap fokus pada pesilat yang sedang bermain. Dalam contoh ekstremnya, coba saja minta mereka yang berisik untuk menggantikan wasit yang sedang bertugas selama 1 partai saja. Untuk membuktikan bahwa tugas menjadi wajur itu tidak mudah (terutama wasit). 

            Karena itulah, mari kita membiasakan menghargai keputusan yang telah dibuat oleh mereka yang memang tugasnya menjadi “pengadil” di arena pertandingan. Toh kami sebagai wasit juri juga nggak akan memihak. Karena tak ada untungnya pula kami memihak. Dan jika kami didapati melakukan kesalahan, kami mengakuinya. Karena tugas ini cukup melelahkan. Kami pun disini juga berusaha berlaku seadil mungkin. Karena pada dasarnya, belajar adil itu dimulai dari diri sendiri kan ? 
Kategori Power; pokoke hancurr lebuurrrkaaann
            Akhir kata, menjadi wajur itu sangat menyenangkan, meski melelahkan. Ane sendiri mendapat banyak pembelajaran, seperti belajar adil, tegas, cermat, sabar, dan pantang dalam melawan rasa kantuk ! hahaha. Loe musti nyoba juga broo. 

Tim Wasit Juri Kejurlat DIY 2015

Monday, February 9, 2015

4 Tipe Manusia Menurut Imam Al-Ghazali

        Belakangan ini ane sering terpikir mengenai pencarian “ilmu”. Yep, pikiran ini mungkin dilatarbelakangi oleh nilai ane yang masih jeblok, plus skripsi yang masih tertinggal dari teman-teman kebanyakan. Pasalnya, teman se-angkatan ane rata-rata udah pada habis SKS dan sekarang sedang nyicil skripsi. Sedang ane sendiri masih mengejar ketertinggalan SKS. Fyuuh. Emang sih, dalam 2 semester terakhir, udah ada perkembangan. Namun rasanya masih jauh dari cukup. Jadinya, ane pun sekarang masih berusaha belajar untuk bisa “belajar dengan baik”. Nah loh.   


       Dan ngomong-ngomong tentang belajar, masih terngiang di kepala ane, salah satu perkataan Bapak dulu.  Beliau membicarakan salah satu kata mutiara dalam bahasa Arab dari Imam Al-Ghazali; Bahwa dalam aspek “ilmu”, Imam Al-Ghazali menggolongkan manusia menjadi 4 tipe:


1. Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri
Tipe pertama yakni seseorang yang tahu (berilmu), dan dia sadar bahwa dirinya tahu (berilmu).  Seorang seperti ini kemudian haruslah diikuti. Hal ini dikarenakan ia memang berilmu dan berkemungkinan besar menularkan ilmunya pada orang lain, termasuk kita. Contoh dari orang tipe ini adalah guru, pelatih, ustadz, dan temen pinter yang mau ngajarin ilmunya.

2. Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri
Tipe kedua yakni seseorang yang tahu (berilmu), namun dia tidak sadar bahwa dirinya tahu (berilmu). Seorang seperti ini kemudian haruslah dibangunkan. Pasalnya, orang seperti ini sebenarnya mempunyai potensi untuk dapat bermanfaat dalam skala yang lebih luas. Namun ia diibaratkan masih “tertidur”; masih menyimpan ilmunya untuk dirinya sendiri. Bisa jadi karena dilandasi ketidaktahuan bahwa dirinya lebih berilmu daripada orang-orang di sekelilingnya. Contoh dari orang tipe ini adalah seorang yang hidupnya biasa, pergaulan sewajarnya, lurus dan damai-damai aja. Namun sebenarnya dibalik “kedamaian” hidup orang tersebut, katakanlah ia mampu hidup damai karena sebenarnya berhasil melewati berbagai halangan dan kesulitan berkat ilmunya. Bayangkan saja apabila orang seperti ini kemudian menyebarkan ilmu yang bermanfaat tersebut ke (minimal) orang-orang di sekelilingnya. Pasti akan jauh lebih bermanfaat. 

3. Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri
Tipe ketiga yakni seseorang yang tidak tahu (tidak berilmu), dan dia sadar bahwa dirinya tidak mengetahui (tidak berilmu). Seorang seperti ini kemudian haruslah dibimbing dan diajari. Nah, menurut ane disini, bahwa tipe mayoritas mahasiswa adalah tipe 2 dan 3. Bila manusia tipe 2 menurut Imam Al-Ghazali adalah orang yang sebenarnya pinter tapi ga sadar. Tipe 3 kebalikannya. Orang di tipe ini merasa membutuhkan banyak bimbingan dan ilmu dari orang lain, karena sadar bahwa dirinya masih mempunyai banyak kekurangan. Semangat ya.

4. Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri
Dan yang paling kasihan adalah tipe terakhir. Ia adalah seseorang yang tidak tahu (tidak berilmu), namun dirinya tak sadar bahwa dirinya tak mengetahui (tak berilmu). Seorang seperti ini (dikatakan) haruslah ditinggalkan. Yang dimaksud disini ialah tipe orang yang merasa selalu tahu terhadap segala sesuatu. Bila diajak diskusi, menggurui. Bila diberi nasihat, malah mengumpat. Tipe orang keras dan tak berilmu yang tak mau mengalah. Tinggalkan saja. Karena ia tak akan memberi manfaat. Kecualii.. bila kita  adalah tipe 1 yang sabar pula. Besar kemungkinan orang seperti ini masih dapat tertolong. Dan bila bisa menolong orang tipe ini, kamu keren.

Dalam kaitannya sehari-hari, menurut ane keempat tipe ini masih bisa dikategorikan penggunaannya dalam 2 level; Pertama, sebagai patokan dalam menilai overall seseorang/diri sendiri secara menyeluruh. Kedua, sebagai patokan dalam menilai bab/aspek ilmu tertentu dalam seseorang/diri sendiri.

Sebagai contoh.
Level 1: Si Fulan menilai dirinya sendiri sebagai manusia tipe 3 (Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri). Ia merasa demikian karena ia masih merasa bodoh secara keseluruhan, dan masih harus banyak belajar kepada siapa saja yang dianggapnya bisa memberikan ilmu.  

 Level 2: Si Fulan menilai dirinya sendiri pernah melalui bermacam kategori diatas. Hal ini dikarenakan bahwa ia memang pintar (dan percaya bahwa dia cukup tahu) di salah satu aspek seperti olahraga. Di bidang olahraga, ia tak segan-segan untuk memberikan tips-tips bagi temannya yang membutuhkan. Namun disisi lain, ia merasa amat bodoh dalam hal akademik, khususnya matematika. Ia sadar bahwa ia tak tahu, dan karena itu ia mencari ilmu dari salah satu teman yang pandai dalam aspek matematika.

Keduanya sama-sama bisa digunakan untuk menilai diri sendiri/seseorang. Hal ini berangkat dari asumsi yang paling umum; bahwa tak ada manusia yang sempurna. Dibalik kesempurnaan orang tipe 1, pasti masih kekurangan, hal yang dia pun tak pandai. Dan dibalik ketidaksempurnaan orang tipe 4, pasti ia pun masih mempunyai kelebihan. Layaknya quote dari biksu kesayangan kita semua, Tong San Cong, “kosong adalah isi. Isi adalah kosong”. Hahaha, mulai makin random. Stop ajalah.

Satu hal yang pasti, bahwa menilai orang/diri sendiri itu mudah. Namun yang menjadi tantangan adalah apa tindakan kita selanjutnya pada mereka/diri kita sendiri. Apakah akan kita ikuti ? bangunkan ? bimbing ? atau tinggalkan ? monggo.  

Charlie Hebdo; Benturan Fatal antara Kritisi Jurnalistik dan Sentimen Agama

*ngirim tulisan bulan lalu, tapi ga dimuat. Kasih sini aja dah. hehe.

Rabu pagi (7/1), suasana kota Paris yang tenang berubah bergejolak. Terjadi penyerangan di kantor Charlie Hebdo, sebuah kantor koran mingguan yang identik dengan karya berupa karikatur sindiran mengenai banyak hal, termasuk agama Islam. Penyerangan dilakukan oleh dua pria bertopeng. Mereka masuk kedalam kantor Charlie Hebdo dan kemudian melepaskan tembakan mematikan ke 11 orang yang kebanyakan adalah jurnalis. Mereka tewas ditempat. Pasca penembakan tersebut, kedua pelaku kemudian melarikan diri dengan membunuh seorang korban lagi, yakni seorang petugas polisi. Dengan membajak dua mobil, kedua pelaku berhasil melarikan diri ke Prancis bagian utara

Balas-Membalas
Kejadian ini bukan terjadi sekonyong-konyong tanpa alasan. Charlie Hebdo, sebagai lembaga jurnalistik yang menjadi korban, pasalnya telah berkali-kali melemparkan karikatur satirical (sindiran) mereka terhadap Nabi umat Muslim, Muhammad SAW. Dilansir dari Washingtonpost.com, Charlie Hebdo telah 3 kali merilis karikatur Muhammad SAW dalam rentang waktu 2006-2012. Hal ini kontan menimbulkan pro-kontra keras dari berbagai kalangan. Pada 2006, Charlie Hebdo menerbitkan sebuah karikatur Muhammad SAW yang bertujuan untuk menyindir para ekstremis. Meski pro-kontra muncul, namun hal itu tak terlalu berarti. Hingga kemudian pada 2011, karikatur kedua muncul, menjadikan Muhammad SAW sebagai cover. Sehari kemudian, kantor koran tersebut tiba-tiba dibom oleh pelaku tak dikenal. Hal-hal semacam ini tak pelak menimbulkan reaksi yang lebih keras dari Charlie Hebdo. Mereka menjadi lebih berani untuk mengkritik Islam dengan menjadikan Muhammad SAW sebagai wujud representasi untuk disindir. Terbukti dengan rilisnya karikatur Muhammad SAW selanjutnya pada 2012.
Respon Charlie Hebdo ini agaknya wajar, mengingat mereka adalah kumpulan jurnalis yang telah mengasosiasikan dirinya dengan label produk satirical-nya. Tugas jurnalistik bagi mereka adalah mengkritisi. Dimana kritik itu sendiri merupakan sebuah representasi dari idealisme yang pada akhirnya diwujudkan dalam sebuah karya. Dalam hal ini, mereka menggunakan sketsa karikatur sederhana yang dibumbui dengan sindiran sebagai wujud representasi kritik mereka terhadap keadaan masyarakat seisinya.
Disisi lain, masyarakat muslim pada umumnya, bahkan pada mereka yang bukan garis keras. Sewajarnya menanggapi sesuatu semacam karikatur Muhammad SAW tersebut sebagai suatu pukulan keras terhadap keyakinan mereka. Pasalnya, muslim telah diajarkan untuk tidak mewujudkan bentuk Nabi dalam bentuk apapun, termasuk gambar dan patung. Kritik dari Charlie Hebdo yang telah menyentuh sisi fundamental dari islam inilah yang kiranya menyulut ketegangan yang berakhir dengan penembakan pada Rabu lalu.
Konflik semacam ini; yang melibatkan antara benturan rasa kritisi jurnalistik, dengan rasa sentimen agama yang kuat, nantinya akan berpotensi untuk menyulut konflik yang lebih besar. Menurut Bartos & Wehr, sebuah konflik dapat tereskalasi karena disebabkan oleh faktor reciprocation (timbal-balik). Dalam artian, konflik tereskalasi bukan tanpa sebab. Namun karena serentetan kejadian balas-membalas dari kedua pihak yang disepanjang jalan hanya menjadi “bumbu” akan naiknya tensi konflik. Sebagai contoh, Charlie Hebdo membuat karikatur Muhammad pertama pada 2006, dengan tujuan untuk mengkritik para ekstremis Islam. Namun hal semacam ini menimbulkan pro-kontra, termasuk dari kubu para ekstremis. Balas-membalas terjadi, berulang kali. Hingga akhirnya berujung pada insiden berdarah Rabu lalu.

Dampak Penembakan

Melalui insiden ini, dapat kita simpulkan beberapa hal. Pertama, apapun alasannya, membunuh adalah sesuatu yang terlarang bagi kemanusiaan. Termasuk para pembunuh kartunis Charlie Hebdo yang mungkin saja beranggapan bahwa mereka adalah penoda agama Islam. Bagaimanapun, para karikaturis Charlie Hebdo beserta para pembunuhnya adalah manusia juga, yang bernaung dibumi yang sama. Kedua, sebuah konflik atau pro-kontra yang tak terselesaikan, dan hanya dibuntuti oleh serentetan pembalasan hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Sebuah permasalahan harusnya dapat diselesaikan selagi isu tersebut masih belum berujung konflik. Sebagai contoh, Charlie Hebdo sebenarnya dapat mewujudkan kritisi yang lebih sopan dengan tanpa mengikutkan wujud karikatur Muhammad SAW dalam karya-karyanya. Disisi lain, para muslim, apalagi bagi ekstremis, seharusnya dapat menyelesaikan masalah melalui meja hijau maupun lembaga lainnya yang lebih solutif dan berkredibilitas. Semua ini demi terwujudnya kedamaian masyarakat. Dan ketiga, bayangkan apabila hal ini terjadi berlarut-larut, maka yang terkena imbas terbesarnya adalah kaum muslim di Eropa. Jumlah kaum muslim di Eropa akhir-akhir ini pasalnya kian meningkat, yang sayangnya diiringi juga dengan kritik dan tindakan diskriminasi dari banyak pihak yang tak dapat menerima hal ini. Dengan adanya insiden penembakan Charlie Hebdo ini, maka besar kemungkinan bahwa kaum muslim di Eropa akan menjadi kian terjepit diskriminasi dan rasisme di mata masyarakat.