Tentang Ane

Friday, February 19, 2016

Survei Pertama yang Maknyuss



            Pagi ini rasanya masih selo. Burung-burung berkicau di kejauhan, sinar mentari menembus jendela dengan pola garis panjangnya, dan kipas angin di kamar masih tetap konsisten menggelengkan kepalanya. Pagi yang selo nan nikmat ini seringkali menenggelamkan ane dalam atmosfir kenyamanan. Dan atmosfir demikian sudah ane rasakan selama 2 bulan terakhir. “Huff, ga baik juga nih kalo nganggur terus”, pikir ane tiap beberapa hari sekali. 

            Fase nganggur ane sekarang ini mulai mengingatkan betapa kontras hari ane sekarang dibandingkan dua bulan yang lalu. Ketika saat itu, ane ditawari kesempatan untuk melakukan survey marketing di Solo oleh Mas Arief. “Wah kebetulan nih, bisa buat ngisi waktu”, batin ane. Pada awal bulan Desember, ane bertemu dengan rekan setim untuk membahas kerjasama dalam menyelesaikan survey. Tim kami awalnya terdiri dari tiga orang enumerator, dan satu orang supervisor. Namun baru beranjak pada hari kedua, seorang enumerator mengundurkan diri. Alasannya karena “berat”. “Waduh, repot nih jadinya kalo 1 ilang, padahal kuota total 140 responden yang dibutuhin buat survey”, gumam ane. Akhirnya kuota-per-orang dalam mencari responden pun meningkat. Dari yang awalnya 45 responden per orang, jadi 65-70 per orang. 


sumber pride-indonesia.com
Selang beberapa hari berjalan, memang ane dapati survey ini lumayan sulit. Kami harus mencari responden berdasarkan kuota kategori umur, pekerjaan, kesejahteraan, dan kelurahan tertentu. Jadi tak boleh sembarangan dalam mengambil responden. Misalnya, di Kecamatan Jebres kami mendapat jatah mengampil sample responden di lima kelurahan. Kelurahan A, B, C, D, E. Berarti memang di kelima kelurahan tersebut, lingkup kami dalam mencari responden. Mengambil responden dari kelurahan F, G, H misalnya, tidak diperbolehkan. Kemudian di banyak kelurahan tersebut, kami juga harus mendapatkan responden dari usia 11 hingga 44 tahun, dan hal tersebut dikelompokkan juga. Misalnya harus mendapatkan 5 orang usia 11-15, 7 orang usia 16-24, 9 orang usia 24-35, dst. Dan yang paling merepotkan adalah mencari responden berdasarkan kategori pekerjaan dan kesejahteraan. Karena disebut bahwa kami harus mencari segelintir orang yang hidupnya masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, dan segelintir orang lain yang berprofesi sebagai Direktur. Anjaaayy. Pikiran kami sendiri makin pusing tatkala deadline tim molor, dikarenakan jam kerja yang kurang efektif. Setiap hari kami berangkat pukul 10-11 pagi (karena kalau terlalu pagi, malah mengganggu kegiatan rumah tangga masyarakat), bekerja hingga pukul 17-18. Terkadang malah hanya sampai pukul 15.00. Dengan waktu tersebut, kami hanya bisa mendapat maksimal 5 orang. Kenapa ? karena tiap wawancara, minimal berdurasi 45-50 menit. Dan hujan deras rutin mengguyur Solo tiap sore. Sehingga jika bukan dikarenakan kelelahan ngomong (karena tiap wawancara direkam), kami direpotkan dengan hujan. Mantap gaaann. Namun hal ini ternyata lumrah, karena hampir tiap tim yang tersebar di Indonesia ternyata juga terlambat deadline. Hahaha. 

Akhirnya mau tak mau, tim kami ngebut. Ane, Mbak Aster yang paling berpengalaman di survey, dan Mbak Kalim sang supervisor. Tapi tetap saja, kepanikan berhasil mengalahkan ane kemarin. Ane yang baru pertama kali merasakan dunia survey lapangan ini hanya bisa memenuhi kuota 45 orang pertama. Kemudian ane memutuskan mundur. Yah, terkadang rasa sesal hinggap di hati karena meninggalkan mbak-mbak se tim yang baik tersebut. Apalagi Mbak Aster selagi survey, masih sempat ngurus anak-anaknya dan kegiatan Natal. Salut banget buat kamu mbak ! Yang pasti pengalaman kemarin menjadi salah satu gambaran bagi ane bahwa dunia kerja itu tak semulus yang dibayangkan. Pasti lebih banyak lagi tantangan yang menanti di depan. Dan ane harus selalu siap, mengingat kesalahan ane di pekerjaan terakhir tak boleh terulang, serta harus lebih mampu tahan banting lagi berdasar pengalaman terakhir. Bismillaah ! Ayo ikhtiar !
ilustrasi. sumber cpps.ugm.ac.id

Menyoal LGBT (Part 1)



         Beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia diributkan (atau lebih tepatnya; disuguhkan keributan) oleh berbagai media, mengenai isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) . Mulai dari media elektronik berupa acara-acara diskusi di TV, hingga ribut-ribut di media sosial. Hal ini sontak menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Banyak yang mencerca kaum LGBT, atas nama agama dan beragam penolakan. Namun banyak juga yang turut mendukung keberadaan LGBT, dengan berdalih pada HAM dan toleransi. 

            LGBT marak dibicarakan di media global sejak tahun 2015 lalu. Ditandai dengan langkah berani Perdana Menteri Luxembourg, Xavier Bettel, menikah dengan pasangan sesama jenis, pada Mei 2015. Ia menjadi pemimpin di Uni Eropa pertama yang melakukan hal tersebut. Sebulan kemudian, Kongres Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis di seluruh negara bagian. Sorot lampu bermotif pelangi pun kemudian mewarnai white house, disertai dengan slogan “Love Wins”. Kebijakan AS tersebut dianggap sebagai sebuah kemenan gan bagi kalangan LGBT seluruh dunia. Facebook pun bahkan ikut merayakan dengan menyediakan fitur opsional penambah bayangan “pelangi” bagi profile picture penggunanya. 

             Sejak fenomena “pelangi” pada pertengahan 2015 tersebut, diskusi mengenai LGBT mulai menghangat. Termasuk di Indonesia. Media sosial seperti facebook menjadi fasilitator dalam perdebatan antara pro-kontra LGBT. Individu-individu pro LGBT sendiri mulai rutin berdebat sembari menyuarakan aspirasi mereka (di media sosial), juga sejak profpic mereka diberi hiasan warna pelangi. Namun beberapa minggu terakhir, perdebatan mulai memanas. Dimulai dari pendapat Menristek Dikti, M. Nasir, yang menegaskan bahwa kaum LGBT tak boleh masuk kampus. Pro-kontra pun bergulir, diskusi mengenai LGBT mulai banyak digelar, acara-acara TV mulai mengambil LGBT sebagai topik mereka, dan seperti biasa, media sosial makin ribut. 

Menyoal LGBT (Part 2)



            Bagi ane sendiri, “isu” LGBT sebenarnya adalah masalah. Kenapa ? Bukan karena ane mengamini pendapatnya Pak Nasir, FPI, atau Manny Pacquiao. Pertama, ane menganggap isu LGBT sebuah masalah, karena LGBT sama sekali tidak normal. Manusia dan makhluk hidup lainnya diciptakan secara berpasang-pasangan. Dengan tujuan agar dapat melanjutkan keturunan. Ini logika paling mendasar. Kedua, mengenai orientasi seksual dari para LGBT. Hingga kini, belum diketahui secara pasti mengenai penyebab perilaku penyimpangan orientasi seksual tersebut. Namun jawaban terdekat mengarah kepada 2 sumber: genetik dan lingkungan. Sumber pertama penyebab LGBT diasumsikan berasal dari genetik, yang berpengaruh di hormon. Atau yang kerap disebut, “bawaan sejak lahir”. Memang dalam hal hormon, terdapat beberapa kasus bahwa di pria dan wanita, kadang terdapat hormon yang berlebihan; kelebihan estrogen pada pria dan testosteron pada wanita. Sehingga mereka dikatakan berpotensi untuk menjadi penyuka sesama jenis setelah dewasa. Namun jumlah kasus seperti ini terhitung sangat sedikit. Serta orang yang mengalami gangguan ini, tidak serta merta menjadi LGBT. Namun mengapa kaum LGBT berjumlah cukup banyak ? Yakni karena adanya faktor penyebab kedua, yaitu lingkungan. Lingkungan berperan penting dalam mengembangkan orientasi seksual pada LGBT. Misalnya pada contoh anak yang kurang kasih sayang ayah/ibu, trauma dan pelecehan seksual di masa kecil, kekecewaan pada lawan jenis, pencarian pelampiasan, dll. Semuanya dapat menjurus ke pertumbuhan sifat LGBT di masa dewasa. 

            Bila dilogika, permasalahan sosial yang terdapat pada faktor lingkungan, tentunya jauh lebih banyak dan lebih mudah mempengaruhi tumbuhnya sifat LGBT pada generasi muda, bila dibandingkan dengan faktor murni genetik. Sedangkan faktor “masalah sosial” di lingkungan, tentunya bukan faktor mutlak yang sudah tidak bisa dirubah. Ia masih bisa diatasi dengan banyak cara dan usaha. Seperti mengadakan pendekatan ke kaum LGBT dengan cara-cara yang humanis dan tidak diskriminatif. Dengan tujuan untuk mengubah persepsi mereka tentang seksualitas, ke arah yang lebih “normal” menurut norma dan agama. Dan sekali lagi, pendekatan untuk mengubah keadaan ini hanya bisa dilakukan bila kita telah menyingkirkan pikiran “diskriminatif” dari mindset kita. Sehingga kita tetap menerima para individu LGBT sebagai kawan yang harus dibantu, namun masih dengan tegas menolak perjuangan “isu” LGBT.