Tentang Ane

Friday, February 19, 2016

Menyoal LGBT (Part 1)



         Beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia diributkan (atau lebih tepatnya; disuguhkan keributan) oleh berbagai media, mengenai isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) . Mulai dari media elektronik berupa acara-acara diskusi di TV, hingga ribut-ribut di media sosial. Hal ini sontak menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Banyak yang mencerca kaum LGBT, atas nama agama dan beragam penolakan. Namun banyak juga yang turut mendukung keberadaan LGBT, dengan berdalih pada HAM dan toleransi. 

            LGBT marak dibicarakan di media global sejak tahun 2015 lalu. Ditandai dengan langkah berani Perdana Menteri Luxembourg, Xavier Bettel, menikah dengan pasangan sesama jenis, pada Mei 2015. Ia menjadi pemimpin di Uni Eropa pertama yang melakukan hal tersebut. Sebulan kemudian, Kongres Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis di seluruh negara bagian. Sorot lampu bermotif pelangi pun kemudian mewarnai white house, disertai dengan slogan “Love Wins”. Kebijakan AS tersebut dianggap sebagai sebuah kemenan gan bagi kalangan LGBT seluruh dunia. Facebook pun bahkan ikut merayakan dengan menyediakan fitur opsional penambah bayangan “pelangi” bagi profile picture penggunanya. 

             Sejak fenomena “pelangi” pada pertengahan 2015 tersebut, diskusi mengenai LGBT mulai menghangat. Termasuk di Indonesia. Media sosial seperti facebook menjadi fasilitator dalam perdebatan antara pro-kontra LGBT. Individu-individu pro LGBT sendiri mulai rutin berdebat sembari menyuarakan aspirasi mereka (di media sosial), juga sejak profpic mereka diberi hiasan warna pelangi. Namun beberapa minggu terakhir, perdebatan mulai memanas. Dimulai dari pendapat Menristek Dikti, M. Nasir, yang menegaskan bahwa kaum LGBT tak boleh masuk kampus. Pro-kontra pun bergulir, diskusi mengenai LGBT mulai banyak digelar, acara-acara TV mulai mengambil LGBT sebagai topik mereka, dan seperti biasa, media sosial makin ribut. 

No comments:

Post a Comment