Beberapa minggu
terakhir, masyarakat Indonesia diributkan (atau lebih tepatnya; disuguhkan
keributan) oleh berbagai media, mengenai isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) . Mulai dari media elektronik
berupa acara-acara diskusi di TV, hingga ribut-ribut di media sosial. Hal ini
sontak menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Banyak yang mencerca kaum LGBT,
atas nama agama dan beragam penolakan. Namun banyak juga yang turut mendukung
keberadaan LGBT, dengan berdalih pada HAM dan toleransi.
LGBT marak dibicarakan di media
global sejak tahun 2015 lalu. Ditandai dengan langkah berani Perdana Menteri
Luxembourg, Xavier Bettel, menikah dengan pasangan sesama jenis, pada Mei 2015.
Ia menjadi pemimpin di Uni Eropa pertama yang melakukan hal tersebut. Sebulan
kemudian, Kongres Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis di seluruh
negara bagian. Sorot lampu bermotif pelangi pun kemudian mewarnai white
house, disertai dengan slogan “Love Wins”. Kebijakan AS tersebut
dianggap sebagai sebuah kemenan gan bagi kalangan LGBT seluruh dunia. Facebook
pun bahkan ikut merayakan dengan menyediakan fitur opsional penambah
bayangan “pelangi” bagi profile picture penggunanya.
Sejak fenomena “pelangi” pada pertengahan
2015 tersebut, diskusi mengenai LGBT mulai menghangat. Termasuk di Indonesia.
Media sosial seperti facebook menjadi fasilitator dalam perdebatan
antara pro-kontra LGBT. Individu-individu pro LGBT sendiri mulai rutin berdebat
sembari menyuarakan aspirasi mereka (di media sosial), juga sejak profpic mereka
diberi hiasan warna pelangi. Namun beberapa minggu terakhir, perdebatan mulai
memanas. Dimulai dari pendapat Menristek Dikti, M. Nasir, yang menegaskan bahwa
kaum LGBT tak boleh masuk kampus. Pro-kontra pun bergulir, diskusi mengenai
LGBT mulai banyak digelar, acara-acara TV mulai mengambil LGBT sebagai topik
mereka, dan seperti biasa, media sosial makin ribut.
No comments:
Post a Comment