Poster. sumber: tribute.ca |
“Eye
in the Sky” bercerita tentang sebuah operasi militer gabungan antara Inggris, Amerika
Serikat (AS), dan Kenya. Operasi ini ditujukan untuk memberangus komplotan
teroris Al-Shabab. Sebuah kelompok ekstremis Muslim Somalia, yang seringkali
beroperasi di Kenya. Al-Shabab sendiri menjadi target operasi, karena sikap mereka
yang memusuhi pemerintahan Kenya dan Inggris. Kedua negara pasalnya merupakan
penyokong PBB dalam mempersiapkan pemerintahan baru bagi Somalia. Negara asal
kelompok Al-Shabab.
Cerita
bermula ketika Kolonel Powell (Angkatan Udara Inggris) memulai operasi militer
gabungan yang dinamakan Operation Egret. Powell mendapat informasi intelijen
bahwa akan terjadi pertemuan antara petinggi Al-Shabab dengan beberapa anggota
baru yang berasal dari Inggris dan AS. Sang kolonel melihat situasi ini sebagai
sebuah peluang untuk menangkap mereka semua sekaligus dalam satu atap. Operasi pun
dimulai saat para anak buahnya yang bertugas sebagai pilot drone (eye
in the sky), intel lapangan, dan pasukan militer Kenya, telah siap. Operasi
Egret juga diawasi secara langsung oleh Jendral, Jaksa Agung, dan Menteri
Inggris.
Konflik
dimulai ketika operasi yang semula bertujuan untuk capture, berubah
menjadi assassination. Status operasi berubah tatkala Powell, Jendral,
dan para supervisor, melihat kegiatan Al-Shabab yang ternyata sedang bersiap
melakukan bom bunuh diri bersama rekrutan baru dari Inggris dan AS. Saat mereka
siap untuk membom rumah markas Al-Shabab, disaat yang sama, muncul seorang
gadis kecil yang tiba-tiba berjalan disamping pagar rumah Al-Shabab. Gadis
kecil tersebut ternyata adalah penjual roti yang memang biasa berjualan di
tempat itu. Dilema muncul.
Wajah perang modern. sumber: occasionalplanet.org |
Dalam
rules of engagement militer di modern warfare, tertulis jelas
bahwa wajib hukumnya meminimalisir korban yang tidak terlibat (collateral
damage). Dilema muncul tatkala pilot drone menolak menembakkan
missile, karena semata takut mengenai si gadis penjual roti. Powell yang kesal
dengan ulah pilotnya, meminta keputusan pada Jendral. Jendral lalu meminta keputusan
pada Menteri Inggris. Dan ketika Menteri bimbang, ia kemudian meminta keputusan ke
jabatan yang lebih tinggi. Rupanya hal ini terjadi karena mereka menimbang
faktor politis yang akan berdampak pada mereka, ketika insiden dilematis ini bocor
ke media ataupun lawan politik.
Hampir
seluruh durasi film ini berfokus dalam menyorot dilema pengambilan keputusan. Di
satu sisi, Jendral dan Powell ingin menghabisi petinggi Al-Shabab demi
menyelamatkan puluhan orang yang berpotensi terkena bom bunuh diri teroris tersebut.
Di sisi lain, Menteri-menteri dan Menlu Inggris, khawatir jika anak tersebut
terbunuh, mereka akan bersalah secara moral karena membunuh warga tak berdosa, juga dampak diserang secara politik akan berimbas ke mereka. Ditambah lagi hal
tersebut dapat memicu tumbuhnya ekstremisme di lingkungan Kenya. Karena lokasi
pemboman bertempat di friendly city, atau kota yang termasuk aman di
Kenya.
Keren nih agennya Kenya. sumber: villagevoice.com |
Ane
merekomendasikan banget film ini dalam pembahasan propaganda anti-war. Karena
melalui film yang ceritanya sebenarnya sangat sederhana dan kadang bikin gemes
ini, kita dapat melihat banyak sudut pandang dalam sebuah konflik. Dari sudut
pandang militer, politisi, pengambil kebijakan, hingga sudut pandang teroris
Al-Shabab dan keluarga Alia, si gadis penjual roti.
Terakhir, ada satu dialog
menarik antara sang Jendral, yang diperankan Almarhum Alan Rickman dan salah satu
Menteri, Angela. Dengan suara datar ala-ala nge-judge orang, khas Alan
Rickman, Sang Jendral berkata, “Never tell a soldier that he does not know the
cost of war…” Dingin. Menohok. Mantap.