Tentang Ane

Sunday, October 23, 2016

Review Eye in the Sky (2015)



Poster. sumber: tribute.ca

“Eye in the Sky” bercerita tentang sebuah operasi militer gabungan antara Inggris, Amerika Serikat (AS), dan Kenya. Operasi ini ditujukan untuk memberangus komplotan teroris Al-Shabab. Sebuah kelompok ekstremis Muslim Somalia, yang seringkali beroperasi di Kenya. Al-Shabab sendiri menjadi target operasi, karena sikap mereka yang memusuhi pemerintahan Kenya dan Inggris. Kedua negara pasalnya merupakan penyokong PBB dalam mempersiapkan pemerintahan baru bagi Somalia. Negara asal kelompok Al-Shabab. 

Cerita bermula ketika Kolonel Powell (Angkatan Udara Inggris) memulai operasi militer gabungan yang dinamakan Operation Egret. Powell mendapat informasi intelijen bahwa akan terjadi pertemuan antara petinggi Al-Shabab dengan beberapa anggota baru yang berasal dari Inggris dan AS. Sang kolonel melihat situasi ini sebagai sebuah peluang untuk menangkap mereka semua sekaligus dalam satu atap. Operasi pun dimulai saat para anak buahnya yang bertugas sebagai pilot drone (eye in the sky), intel lapangan, dan pasukan militer Kenya, telah siap. Operasi Egret juga diawasi secara langsung oleh Jendral, Jaksa Agung, dan Menteri Inggris. 

Konflik dimulai ketika operasi yang semula bertujuan untuk capture, berubah menjadi assassination. Status operasi berubah tatkala Powell, Jendral, dan para supervisor, melihat kegiatan Al-Shabab yang ternyata sedang bersiap melakukan bom bunuh diri bersama rekrutan baru dari Inggris dan AS. Saat mereka siap untuk membom rumah markas Al-Shabab, disaat yang sama, muncul seorang gadis kecil yang tiba-tiba berjalan disamping pagar rumah Al-Shabab. Gadis kecil tersebut ternyata adalah penjual roti yang memang biasa berjualan di tempat itu. Dilema muncul.  

 Wajah perang modern. sumber: occasionalplanet.org
Dalam rules of engagement militer di modern warfare, tertulis jelas bahwa wajib hukumnya meminimalisir korban yang tidak terlibat (collateral damage). Dilema muncul tatkala pilot drone menolak menembakkan missile, karena semata takut mengenai si gadis penjual roti. Powell yang kesal dengan ulah pilotnya, meminta keputusan pada Jendral. Jendral lalu meminta keputusan pada Menteri Inggris. Dan ketika Menteri bimbang, ia kemudian meminta keputusan ke jabatan yang lebih tinggi. Rupanya hal ini terjadi karena mereka menimbang faktor politis yang akan berdampak pada mereka, ketika insiden dilematis ini bocor ke media ataupun lawan politik. 

Hampir seluruh durasi film ini berfokus dalam menyorot dilema pengambilan keputusan. Di satu sisi, Jendral dan Powell ingin menghabisi petinggi Al-Shabab demi menyelamatkan puluhan orang yang berpotensi terkena bom bunuh diri teroris tersebut. Di sisi lain, Menteri-menteri dan Menlu Inggris, khawatir jika anak tersebut terbunuh, mereka akan bersalah secara moral karena membunuh warga tak berdosa, juga dampak diserang secara politik akan berimbas ke mereka. Ditambah lagi hal tersebut dapat memicu tumbuhnya ekstremisme di lingkungan Kenya. Karena lokasi pemboman bertempat di friendly city, atau kota yang termasuk aman di Kenya.
Keren nih agennya Kenya. sumber: villagevoice.com
Ane merekomendasikan banget film ini dalam pembahasan propaganda anti-war. Karena melalui film yang ceritanya sebenarnya sangat sederhana dan kadang bikin gemes ini, kita dapat melihat banyak sudut pandang dalam sebuah konflik. Dari sudut pandang militer, politisi, pengambil kebijakan, hingga sudut pandang teroris Al-Shabab dan keluarga Alia, si gadis penjual roti. 

           Terakhir, ada satu dialog menarik antara sang Jendral, yang diperankan Almarhum Alan Rickman dan salah satu Menteri, Angela. Dengan suara datar ala-ala nge-judge orang, khas Alan Rickman, Sang Jendral berkata, “Never tell a soldier that he does not know the cost of war…” Dingin. Menohok. Mantap.

No comments:

Post a Comment