Tentang Ane

Tuesday, October 1, 2013

Aliran Semangat di Pinggir Kali

Langit terlihat amat cerah sore ini. Angin pun sepoi-sepoi berhembus, perlahan, menyapa kulit dengan menyenangkan. Cuaca sore semacam ini yang biasanya dimanfaatkan oleh Fulan untuk ber-jogging ria. Mengeluarkan keringat sekaligus melatih stamina dalam tubuh. Namun kali ini berbeda. Ia diajak oleh salah seorang teman dalam suatu kegiatan sosial. Penasaran, si Fulan pun akhirnya ikut-ikutan. Kegiatan si teman ini kebetulan bergerak di bidang pendidikan, secara spesifik; mengajar anak yang kurang mampu dalam hal ekonomi di pinggir Jogja. Yang unik, para pengajar muda di kegiatan mingguan ini tidak mengajar anak-anak secara formal, dengan meja, kelas, atau semacamnya. Mereka hanya berbekal ilmu, buku, dan niat yang tulus. Fulan pun terkesima dengan pemandangan ini. 

Pertama kali masuk ke dalam apa yang disebut “gang senggol” oleh mas Koordinator, Fulan langsung berfikir, “wow, timpang banget ya. Di sebelah selatan sana keliatan sebuah Mall dengan segala gemerlapnya. Sedangkan disini, hanya ada rumah kecil berdempetan, dimana pemandangannya hanya Kali Gajahwong, sungai kotor yang hanya sedikit lebih besar dari Selokan Mataram”. Namun, Fulan juga tak kalah terkejut ketika kali pertama menjumpai anak-anak. Mereka sangat ceria, semangat, dan antusias melihat “kakak gurunya” datang. Ini menandakan bahwa mereka sebenarnya punya semangat belajar, hanya mungkin semangat tersebut tertutup oleh beban kehidupan yang lain.
         
iki mung ilustrasi dab, tapi yo cah2 ceriane koyo ngene :)
      Sembari memperhatikan si teman dan komunitasnya, Fulan juga mengamati tingkah polah para bocah ceria tersebut. Saat mereka diajak bercerita, sangat aktif. Malah kesannya mereka yang lebih suka bercerita daripada para gurunya. Fulan pun penasaran, ia pula mendekati dan mendengarkan cerita salah seorang anak. Said namanya. Ia duduk di kelas 6 SD, namun ceritanya sangat mencengangkan. Menurut kisahnya, di dekat dusun itu dahulu terdapat kasus pembunuhan. Ia kenal pembunuhnya, dan temannya pun bahkan ikut jadi saksi. Ia juga bercerita lebih lanjut tentang balapan liar dengan taruhan jutaan rupiah. Saat ditanya tentang cita-citanya, Said menjawab dengan mantap, “jadi joki drag (balapan drag—balapan motor/mobil yang lintasannya lurus, biasanya hanya sepanjang 100 - 400 Meter) ama pemain bola !”. Fulan pun memuji cita-citanya, namun sambil menambahkan bahwa balapan itu beresiko. Ia sebisa mungkin tidak ingin menceramahi bocah dengan kehidupan yang sudah keras macam ini. Model anak seperti ini yang difikirnya harus dijadikan sahabat, dirubah perlahan. Bukan malah jadi obyek ceramah.

Miris memang mendengar cerita semacam ini meluncur dari bibir seorang anak kelas 6 SD yang notabene tinggal di Kota Jogja, kota ber-stereotype ramah yang penuh dengan sopan santun. Namun inilah realita kota besar, ada putih, tentu saja ada hitam. Selama bertutur, Said pun kadang tertawa, menggoda temannya. Seolah tak terjadi apa-apa pada kehidupannya selama ini.

Dalam hati, Fulan memuji kegiatan si teman serta komunitasnya. Mereka telah bekerja keras untuk sedikit demi sedikit merubah dan menanamkan kebaikan kedalam diri anak-anak ini. Lingkupnya memang masih kecil, namun ini merupakan aksi nyata yang jarang orang mau melakukannya. Berbuat baik, meski sedikit, jauh lebih baik daripada beridealisme tinggi namun tanpa aksi nyata, tak berbuat apa-apa.

Sepulang dari dusun tersebut, Fulan makin yakin bahwa dalam tiap diri orang itu terdapat kebaikan. Tinggal orang tersebut mau atau tidak memelihara kebaikan tersebut. Ibarat dalam tubuh kita terdapat dua serigala, yang satu bernama “KEBAIKAN”, satu lagi bernama “KEBURUKAN”. Jika dua serigala ini bertempur, manakah yang akan menang ?

…ya serigala yang kita beri makan lah..



Sunday, September 8, 2013

Kegalauan Ekonomi Menghadapi Si Globalisasi


Globalisasi? kata yang satu ini nampaknya telah amat akrab di telinga kita. Saking akrabnya, kita mungkin mengira globalisasi hanya sebuah fenomena biasa yang sudah sepatutnya terjadi di dunia modern ini. Memang tidak salah juga, mengingat kemajuan teknologi dan informasi berkembang dengan pesat.
Seiring waktu, globalisasi banyak menunjukkan manfaat bagi masyarakat dunia dalam hal efisiensi waktu dan kemudahan berinteraksi antar kontinen. Ekspansi perdagangan, pertumbuhan pasar, arus informasi dan kemudahan akses ke seluruh belahan dunia menjadi primadona dari produk positif globalisasi itu sendiri. Meski demikian, globalisasi tidak melulu membawa dampak positif. Muncul kegalauan bahwa orang-orang yang terpengaruh globalisasi ini kualitas hidup dan perekonomiannya akan cenderung terguncang.
Sebagai penggambaran yang mudah – kita saat ini hidup di dalam dunia global yang praktis, semuanya dituntut untuk serba cepat dan terbaik. Bila seseorang atau suatu negara lebih lambat daripada yang lain, maka ia akan tertinggal bahkan tertindas. Dengan kata lain, semua dituntut untuk berkompetisi antara satu sama lain.
Lebih lanjut, negara berkembang dan negara maju memang sama-sama terdaftar dalam WTO (World Trade Organization). Namun, tetap saja keduanya tidak akan dapat berdampingan dengan seimbang. Globalisasi dan WTO hanya dijadikan suatu media bagi negara maju untuk “menjajah” negara berkembang secara ekonomi, memanfaatkan tenaga kerja murah, hasil bumi melimpah, dll. Akibatnya, para rakyat negara berkembang pun mau tidak mau harus bekerja keras untuk dapat mengimbangi keperkasaan negara maju. Inilah yang dinamakan kompetisi.
Ketika rakyat negara berkembang yang notabene makin maju, pihak negara adidaya pun tidak mau kalah. Padahal bila ditilik secara mendasar, para pihak yang bersaingan ini hanyalah manusia biasa yang tetap perlu memenuhi kebutuhan sosial dan biologisnya. Orang-orang ini tidak sadar bahwa dengan tekanan pekerjaan dari negara dan persaingan yang sedemikian rupa dapat menyebabkan seseorang lupa akan hakikat hidup manusia – yakni bersosialisasi, baik dengan manusia maupun lingkungan alam sekitarnya. Tak heran, fenomena stress dan depresi pun menjadi mudah ditemui di masa kini.
Di sisi lain, kemajuan teknologi seperti cepatnya informasi juga menambah hilangnya kualitas hidup dan identitas manusia. Mungkin kemajuan teknologi memang mendukung dalam hal bisnis dan media. Namun kemajuan teknologi ini juga memisahkan hubungan antar manusia itu sendiri. Istilah yang dapat digunakan adalah “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Contohnya dalam suatu makan malam keluarga, tradisi telah berubah – dulu satu sama lain saling bercerita, kini satu sama lain hanya saling diam sambil mengetik sesuatu di hand phone masing-masing.  
Untuk soal identitas dapat dilihat pada bangsa Indonesia sebagai contohnya. Di Bantul, Jogjakarta, terdapat desa bernama Kasongan yang mata pencaharian warganya berasal dari kerajinan gerabah yang mereka buat. Kerajinan tersebut berpangsa pasar utama di mancanegara, karena memang banyak warga Eropa yang menyukai gerabah Kasongan karena nilai tradisionalnya. Dari contoh singkat ini, dapat dilihat bahwa nilai tradisional Indonesia memang berhasil mengglobal. Namun fenomena seperti ini masih sangat jarang terjadi di Indonesia. Coba hitung saja berapa nilai tradisional Indonesia yang berhasil mengglobal dan hitung nilai globalisasi yang berhasil menyatu dalam tradisi lokal, kemudian bandingkan. Ironisnya, nilai global yang masuk ke tradisi lokal-lah yang unggul lalu berhasil menggeser nilai budaya bangsa Indonesia.
Karena dunia saat ini telah terlanjur larut dalam fenomena globalisasi, maka cara yang digunakan suatu negara untuk berubah juga tidaklah mudah, namun tetap dapat dilakukan. Perlu diingat bahwa melepaskan diri dari “cengkeraman” globalisasi bukan berarti melepas semua keterkaitan suatu negara dari perkembangan global, karena hal ini terlalu radikal, bahkan demi kepentingan naiknya kualitas hidup manusia yang telah disebutkan sebelumnya. Namun paling tidak, suatu negara seperti Indonesia bisa melonggarkan diri dari jeratan ekspansi ekonomi negara-negara maju.  
Salah satu cara yang dapat dipakai ialah dengan memilih sosok pemimpin nasionalis yang berani merubah sistem. Dalam hal ini, si pemimpin harus mampu berperan mengakomodasi kepentingan dan identitas nasional semaksimal mungkin. Semua produk domestik didorong untuk dapat maju bersaing dan SDM dikembangkan lebih jauh – bila perlu disekolahkan ke luar negeri. Meski kebijakan semacam ini menuai kontroversi karena akan mengorbankan alokasi dana untuk hal lain ataupun mungkin juga akan dikecam negara-negara maju, namun baiknya tetap harus dilakukan. Karena sebuah perubahan ke arah negara yang mandiri membutuhkan suatu pengorbanan.
Dengan kata lain, kegalauan ekonomi kita dalam menghadapi globalisasi ini tidak bisa dengan cara menolaknya mentah-mentah, melainkan bersikap bijak demi menyerap efek positifnya dan memangkas efek negatif dari ekonomi liberal maupun pasar bebasnya.
*telah diedit dan dimuat oleh http://unsa27.net/ sebagai artikel pilihan Juni 2013

Thursday, September 5, 2013

Rotasi Hati

Sekarang bilang A
Esok bilang B
Lusa bilang A

Ada pula
yang sekarang bilang A
Esok bilang B
Lusa bilang C
Esoknya malah bilang D

Meski ada juga
Yang sekarang bilang A
Esok bilang B
Dan hingga akhir masih bilang B

Hari ini mengaku suci
Esok bisa saja korupsi

Hari ini bajingan
Esok bisa saja jadi orang beriman

Hati ini mudah sekali dibolak-balik kawan
Karena manusia sesungguhnya diciptakan dalam keadaan lemah

Maka dari itu
Jangan putus asa
Minta kekuatan dan ketetapan kepada Yang Maha Kuat


Dosa ( itu penting )

Hari sudah beranjak gelap, sementara si Fulan masih saja meringsut di pojokan kamar kosnya. Kelaparan. Akhir bulan ini menyiksa sekali baginya. Kondisi usaha sang ayah yang bulan lalu baru saja gulung tikar secara langsung mempengaruhi Fulan. Hidupnya di perantauan kini pas-pasan.

       Masih tak bergerak di pojokan, ia diam, sambil sesekali memegangi perutnya. Lapar dan tak punya uang untuk membeli makanan merupakan kombinasi yang sangat dahsyat. Fulan sadar, bahwa ia tak mungkin memaksa ayahnya untuk tetap mengirimkannya uang semata untuk kesejahteraan perutnya seorang. “ayah dan ibuku pasti saat ini lebih menderita daripada aku”, pikirnya. Namun si perut melilit ternyata tak mau bertoleransi, Fulan akhirnya keluar kos untuk menuju warung makan. Sengaja dicarinya warung makan yang ramai pembeli. Karena dari awal Fulan memang berniat untuk tak membayar makanannya, dan kemudian langsung menghilang di keramaian begitu ia kenyang. Dua puluh menit kemudian Fulan pun sampai di kos. Perutnya telah terisi penuh, sedangkan pengeluarannya nol rupiah. Ia lega.

        Selepas sholat Isya, Fulan pun terdiam. Ada yang aneh dalam batinnya. Perasaan bersalah muncul ! Sebenarnya sore ini ia masih bisa ngutang makan ke teman kosnya, maupun ke teman lain. Namun hal tersebut tak dilakuannya lantaran sebuah “gengsi”. Fulan sejatinya adalah anak yang baik, tapi ia berharga diri tinggi. Jaim dan gengsi melekat di tabiatnya.

        Rasa bersalah akibat dosa yang sengaja dilakukan Fulan terus membuncah dalam hatinya selama beberapa lama. Ia pun sadar, bahwa mencuri adalah perbuatan yang haram dilakukan, apapun kondisinya. Dengan mencuri, ia secara tidak langsung telah memutus sebagian rezeki warung tersebut. Masih banyak cara yang dapat ia lakukan untuk menghindari perbuatan tersebut. Di kemudian hari, Fulan pun tak ragu lagi untuk berutang, bahkan bekerja serabutan, semua dilakukan agar kesalahannya dulu tak terulang kembali.

        Dalam perumpamaan diatas, dapat dilihat bahwa karakter Fulan mampu berubah karena sebuah rasa bersalah. Sebuah rasa yang didapatnya dari melakukan dosa. Sebagai manusia biasa, tak mungkin kita tidak melakukan dosa dan kesalahan. Pasti pernah, atau bahkan sering ? mari jawab masing-masing. Apapun macamnya, yang namanya dosa itu salah. Namun hal yang salah bukan berarti tidak penting, lantas diabaikan.
Dosa itu penting menurut saya. Karena dengan melakukan kesalahan, kita jadi tahu mana yang benar. Karena dengan melakukan dosa, kita jadi tahu apa arti penting sebuah pahala. Dan karena dengan berada di bawah, kita juga menjadi sadar, bahwa kita harus naik ke atas. Merasakan manisnya perjuangan untuk kembali ke jalan yang benar.

        Akan tetapi, hal ini tidak lantas membuat kita harus beramai-ramai melakukan dosa terlebih dahulu, dengan tujuan supaya dapat menjadi lebih baik nantinya. Tak perlulah. Karena dengan kita hidup sebaik mungkin aja, pasti masih melakukan dosa kok, apalagi yang pengen berbondong-bondong bikin dosa duluan. Bukannya jadi baik, malah makin terjerumus malahan. Cukup dengan bekal “membuka mata” atau menyadari segala hal di sekitar kita. Sehingga fenomena apapun yang nampak, kita bisa memaknainya walau sedikit. Dengan “membuka mata”, kita akan dapat menyadari segala hal yang kita lakukan, termasuk kesalahan. Nah, kalo sudah sadar, tinggal pilih mau lanjut salah terus atau mau berubah jadi lebih baik.

NB: Cangkeman pancen gampang, tumindak e sing angel. Ngomong emang mudah, melakukannya yang sulit. Jadi, mari saling mengingatkan dan berusaha sebaik mungkin. 

buka mata (hati)

Untuk Seorang Kawan

Melihatmu memotivasi, mengembangkan, dan memberi manfaat pada orang lain saja sudah membuatku bersyukur sekaligus gembira. Apalagi melihat dirimu bahagia, itu sudah menjadi anugerah yang luar biasa bagi diri ini.

Tetaplah semangat, jangan sampai hingar bingar kenyamanan dunia ini membuatmu terlena, kawanku sayang. Karena di masa depan, masih banyak orang-orang yang musti kau bakar semangatnya dan kau beri manfaat padanya. Aku percaya takdirmu lebih besar, jauh lebih besar daripada orang kebanyakan. Manfaatkanlah, dan kemudian jangan lupa tuk beri manfaat pada orang disekitarmu.

Dan kelak, saat kau telah jadi orang hebat, aku mungkin hanya dapat melihat dari kejauhan, sembari tersenyum simpul. Karena dalam benak dan hatiku, aku sangat bersyukur telah mendapat kesempatan mengenalmu.

Setangkai Harapan

Bila kau menyukai setangkai bunga
Jangan ia malah kau petik untuk dirimu sendiri
Karena tak lama kemudian
Ia akan layu dan mati
Keindahannya lenyap sudah

Kalau kau benar menyukainya
Biarkanlah ia
Karena bunga akan terlihat makin cantik
Bila kau biarkan ia tumbuh segar, bersinar

Kelak,
Ia akan memberi warna bagi alam sekitarnya
Dan bila saat itu tiba
Kau pun akan terpukau dibuatnya

yang namanya bunga akan segar dan bersinar bila waktunya tiba

Pencak Silat dan Tantangan Zaman

           Bagi sebagian orang, Pencak Silat seolah telah dicap sebagai beladiri yang diselimuti oleh unsur mistis, bahkan syirik. Ada juga yang menganggap bahwa budaya asli Indonesia ini sebuah beladiri yang “tidak bisa modern”. Pandangan seperti ini bukannya mengada-ada. Masih miskinnya peminat bila dibanding dengan beladiri lainnya menjadi sebuah saksi atas kenyataan ini.

            Sebagai kilasan, beladiri asli Indonesia yang bernama asli pencak, silat, silek, maupun apapun sebutannya ini merupakan budaya yang telah berusia ratusan tahun. Pencak silat digunakan oleh bangsa kita dari masa ke masa sebagai alat pertahanan diri, beladiri prajurit kerajaan, senjata dalam melawan penjajah di masa kolonial, hingga olahraga dan kompetisi di masa kini. Banyak aspek dalam beladiri ini yang membuatnya masih eksis dalam kurun waktu sekian ratus tahun tersebut hingga sekarang. Jika disebut, mungkin aspek beladiri, bina mental, pembentukan karakter, hingga aspek spiritual dan tenaga dalam. Kesemuanya merupakan satu kesatuan, atau boleh dibilang satu paket dengan pencak silat.

Problematika

           Sayangnya, kini timbul suatu kesalahpahaman pada salah satu aspek yang telah disebutkan sebelumnya. Sebuah “salah tafsir” dan unsur hiperbola (lebay) seolah telah melekat pada aspek spiritual dan tenaga dalam di pencak silat. Sebagian masyarakat kini telah memandang beladiri ini sebagai beladiri mistis, angker, musyrik atau semacamnya. Pandangan semacam ini tidak serta merta muncul secara otomatis. Karena perubahan zaman juga lah yang menjadi salah satu faktor perubahan pandangan masyarakat seperti ini. Selain itu, masih kurangnya pembangunan branding image pencak silat juga menjadi salah satu faktor tambahan. Kesan kampungan ataupun ketinggalan jaman seolah sudah bersatu dengan image beladiri yang juga tersebar di Asia Tenggara ini. Tak pelak, kondisi ini mengakibatkan pada turunnya jumlah peminat pencak silat. Lapangan tempat latihan dan gelanggang pertandingan pun tak seramai era 1980 an dulu.

Tak Kampungan

    Setiap masalah pasti ada alternatif solusinya. Yang harus dicari pertama adalah akar permasalahannya. Bila pencak silat memang dipandang kurang laris karena beberapa faktor diatas, maka ada beberapa alternatif yang mungkin dapat dicoba.

          Pertama, karena kesan pencak silat yang mistis di aspek spiritual dan tenaga dalam, maka kita sebagai pesilat dapat mencoba “merasionalkan” atau mencari penjelasan yang rasional. Sebagai contoh kasus, di Perguruan Pencak Silat Merpati Putih terdapat atraksi pematahan beton, es balok, kikir besi, bahkan baja per mobil dengan tangan kosong. Bila dilihat dari kacamata orang awam, hal ini terlihat mustahil dilakukan. Bagaimana mungkin tangan yang hanya terkomposisi dari otot, lemak, tulang, dan organ - organ kecil ini mampu mematahkan material - material tersebut ?  namun fenomena ini dapat dijelaskan secara logis. Dilansir dari Wikipedia Indonesia, tenaga yang digunakan dalam Merpati Putih adalah tenaga dalam yang didapat dari teknik olah napas. Pada orang biasa, tenaga asli tersebut dapat dilihat dan digunakan hanya pada saat orang bersangkutan dalam kondisi terdesak. Misalnya melompat pagar tinggi saat anjing mengejarnya di jalan yang buntu. Secara rasional, sel dalam tubuh manusia menghasilkan zat yang bernama Adenosine Triphospate(A.T.P) yang merupakan cadangan energi dalam tubuh. Maka dengan bantuan teknik olah napas, zat yang menjadi kunci tenaga tersembunyi manusia ini dapat dilatih untuk kemudian dapat digunakan dengan bebas. Penjelasan ilmiah semacam ini tidak hanya ada di Merpati Putih, namun juga hampir keseluruhan perguruan pencak silat. Bagaimana mereka bisa melakukan hal ini dan itu. Pasti semua ada penjelasan rasionalnya. Hanya mungkin masyarakat masih belum mendapatkan informasi seperti ini.

            Yang kedua, karena pencak silat masih terkesan kuno dan kampungan, maka sudah selayaknya kita mengubah “kemasan” nya. Seorang teman saya pernah berkata, bahwa dalam bisnis, kemasan adalah salah faktor utama yang mempengaruhi penjualan. Dan rasanya, “penjualan” atau promosi pencak silat pun tak jauh berbeda. Sampai saat ini,image beladiri ini nampaknya masih melulu tentang kesaktian, jaman dahulu, perang antar kerajaan, dan sebagainya. Entah di televisi maupun cerita komik. Hal seperti inilah yang menimbulkan kiasan bahwa pencak silat sudah tak lagi relevan di jaman sekarang. Jaman dimana semuanya serba rasional. Kemasan pencak silat pun harus diubah bila ingin tetap eksis di jaman ini. Misalnya, tak perlu lagi menunjukkan ilmu tingkat tinggi saat atraksi. Cukup perlihatkan ciri khas perguruan yang kiranya masih “masuk akal” bagi pandangan seorang awam. Selain itu, karena saat ini yang sedang populer adalah training beladiri praktis, yakni sebuah bentuk beladiri yang murni untuk “membela diri” di jalanan. Maka tak apalah bagi perguruan silat mengajarkan jurus – jurus sederhana dalam mengantisipasi penjahat, di hadapan penonton. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa bukan zaman yang mengikuti silat, namun silat yang mengikuti zaman.

           Terakhir, kita sebagai bangsa Indonesia musti bangga dengan budaya sendiri. Tunjukkan identitas bahwa kita ini seorang pesilat. Tak perlu malu, atau takut terkesan sombong dan pamer. Karena zaman sekarang ini bukan lagi jamannya bertindak secara sembunyi – sembunyi. Dengan menunjukkan bahwa kita bangga dan percaya diri dengan ikut pencak silat, maka akan timbul suatu kesan tersendiri bahwa memang komunitas silat itu membanggakan dan patut diikuti oleh semua generasi muda Indonesia.

usia senja tak menyurutkan semangat seorang pendekar dalam menunjukkan kebolehannya --Malioboro Pencak Festival 2013

brand pencak silat masa kini. Iko Uwais !

tak ada mantra, pun jampi-jampi. kuncinya adalah RAJIN LATIHAN :D

Aku dan Si Jambret

        Pagi ini ketika aku sedang duduk santai di teras rumah, pandanganku langsung tertuju pada dirimu. Sebuah motor tua yang dibeli bapakku 16 tahun lalu, dan kini telah menemani hari-hariku. Seperti biasa, kau hanya terdiam. Berdiri kokoh dengan hanya bersandar pada satu kaki. Kerangka besimu pun meski mulai diselimuti karat, namun masih terlihat kuat. Melihat semua ini, terbayang kembali ingatan masa-masa kelas 3 SMP dahulu. Dimana kita mulai berlari bersama di jalanan.

          Semenjak SD hingga SMP kelas 2 dahulu, kendaraan umum selalu jadi langgananku sehari-hari.   Panas, ngetem kalau lagi sepi penumpang, berdesak-desakan kalau lagi rame penumpang, mendengarkan beraneka ragam jenis umpatan dan kata-kata kotor yang muncul dari mulut pak sopir, duduk berdampingan dengan mbak-mbak SMA cantik, semua itu telah menjadi keseharianku di angkot 07 jurusan Mojosongo. Memang sih kedengarannya agak kurang nyaman, namun aku menikmati itu semua. Meski demikian, tetap terbersit di pikiranku, saat aku melihat para anak SMA memacu motornya di jalan, "ah enak pake motor mungkin ya, bisa ngebut, ga pake lama". Keinginan kecil inipun terwujud saat aku memasuki kelas 3 SMP.

            Ya, kelas 3 SMP, umurku pun belum sampai 17. "ah persetan" pikirku, "yang penting bisa naik motor, udah, tak perlulah yang namanya SIM ! hahaha". Kebetulan, motor pertamaku kala itu adalah sebuah motor lawas, namun keren menurutku. RX King namanya, motor jambret di era Orde Baru. Tarikan kencang, dan kemampuan ngebutnya pun membuatku tambah girang saat mengendarai motor yang satu ini. Sejak saat itu, ketika aku kebetulan sedang keluar pas malam hari, selalu kusempatkan untuk berlari tak karuan, ngebut dengan si motor jambret. Sampai suatu ketika, kebiasaan ngebutku inipun berdampak buruk. Kedua tanganku retak, karena terlempar jatuh dari motor akibat kebut-kebutan sewaktu perjalanan ke sekolah. Namun aku masih bersyukur kala itu hanya retak, dan bukan patah.
iki lho penampakane
                      

            Memasuki SMA, motor favoritku ini pun kurubah sedikit penampilannya. Copot sana copot sini, ganti knalpot berisik. Yah, namanya juga anak SMA, wajar lah. Di jaman-jaman tersebut, aku malah makin suka menggeber motorku. Namun tak terlalu sering juga, karena knalpotku yang amat berisik, bikin pekak telinga sendiri malahan. Meski demikian, motor jambret ini tak sering rewel. Jarang aku membawanya ke bengkel. Bersyukur sekali diriku saat itu, hehehe. Namun, krisis pun melanda pada tahun 2009, tahun dimana BBM dinaikkan oleh pak presiden. Saat itu aku kebingungan, karena motorku yang notabene boros bensin, "wah, kantong keluarga bakal terkuras ini", pikirku. Tak berapa lama kemudian, bensin pun turun lagi, turun 2x malahan. "wow, ajaib meen", kataku yang tak sadar bahwa mekanisme penurunan BBM saat itu hanyalah agenda politik belaka. Walaupun begitu, aku tetap saja berusaha menghemat bensin bagaimanapun caranya, salah satunya adalah dengan nebeng ketika touring, kemudian patungan bensin untuk motornya. Ketimbang pakai motorku yang meski telah patungan antara sopir dan pembonceng, tetap saja jatuhnya mahal.

            Setelah 3 tahun bergulir di SMA, aku dan si motor jambret kini pindah ke Jogja. Karena Alhamdulillaah aku diterima di salah satu universitas di sana. Motorku masih sama, hanya tanpa knalpot berisik lagi. Bisa tuli telingaku kalo memakai knalpot tersebut saat perjalanan bolak balik Solo-Jogja. Asyik memang rasanya bila mengenang tujuh tahun bersama si kuda besi dua tak ini. Meski aku sadar dia hanyalah benda mati, namun dia tetap akan menjadi salah satu favoritku. Sayangnya saat ini dilema tahun 2009 mencuat kembali. BBM naik karena APBN defisit. Dan kali nampaknya tak akan turun lagi. Pak presiden selaku penanggung jawab negara pun tampaknya malah tak terlalu bingung menghadapi hal ini. Melihat APBN nya defisit, pemerintahannya malah mengeluarkan kebijakan BLSM, bagi-bagi uang booyy. Tapi sudahlah, toh aku juga tak terlalu mengerti politik. Ringkasnya, aku galau apakah kelanjutan hubunganku dan motorku masih bisa terselamatkan ? ataukah aku harus beralih yang lain ? bingung aku. Selain itu, harapanku supaya pak presiden menghibur kegalauanku juga nampaknya tak akan terwujud. Kutunggu di TV, berita internet, ia tak kunjung muncul menghibur. "pemimpin kan mustinya mengayomi, apalagi bila rakyatnya lagi galau", pikirku. Namun sudahlah.



Takut Donor ?

      

        “donor darah ?? takut ah”
        “donor ? ehm, maaf kapan2 aja ya, aku belum siap”
        “itu kan pake disuntik, sakit…”

Begitulah, beragam komentar mewarnai kata-kata yang seolah amat menyeramkan, “donor darah”. Apakah kalian juga salah satu dari generasi-generasi pengeluh yang kalimatnya muncul di atas ? mengeluhkan kegiatan yang notabene amat bermanfaat bagi kemanusiaan ini ? bila iya, kalian musti memikirkan hal ini;

       Tidak semua orang dapat melalui seluruh hidupnya dengan keberuntungan, bahkan sedikit sekali orang yang kebetulan melalui hidupnya tanpa sebuah kecelakaan pun. Andaikanlah kalian yang mengalami kecelakaan atau sakit… bukan, bukan, andaikan sajalah orang terdekat ataupun terkasih kalian yang mengalami musibah tersebut, misal ayah, ibu, adik, atau sahabat. Tragedi tersebut rupanya telah memberikan dampak pendaharahan yang amat parah bagi mereka, dan jalan satu-satunya bagi mereka adalah menerima transfusi darah. Disini, kebetulan golongan darah kalian sama dengan mereka. Apakah kalian kemudian rela melihat orang tersayang kalian tergolek lemah tak berdaya karena tak kunjung mendapatkan transfusi darah ? tentu tidak kan ? donor darah pun kemudian pasti kalian lakukan dengan sepenuh hati, dengan niatan murni untuk menolong orang yang penting dalam hidup kalian tersebut.

Namun bila skenario diubah seperti ini;

            Saat orang terdekat kalian sedang sangat membutuhkan transfusi darah, ternyata golongan darah kalian, teman-teman kalian, bahkan sanak familinya tidak cocok dengan yang bersangkutan. Ataupun dalam kasus lain, cocok darahnya, namun kurang di jumlah kantongnya. Apa yang akan kalian lakukan ? sudah barang tentu meminta tolong kepada PMI maupun RS pasti. Namun di banyak kasus, 2 instansi ini malah kadang kehabisan stock darah. Nah, sekarang anda berada di posisi sulit, posisi rawan panik. Satu-satunya cara ialah mencari pendonor diluar lingkup kenalan kalian, dengan kata lain orang asing. Koar-koar lewat SMS, FB, serta twitter pun jadi tugas kalian sekarang, berharap ada sosok yang datang untuk bersedia sukarela mendonorkan darahnya kepada orang terkasih kalian. Tapi apa yang terjadi ? tidak ada seorang pun yang mau, dengan alasan mereka takut disuntik lah, takut sakit lah, takut ini, takut itu. Akhirnya, orang terdekat anda, karena tak kunjung mendapat suntikan darah… tak dapat tertolong.

           Inilah yang dapat terjadi bila anda masih urung untuk mendonorkan darah. Kemungkinan-kemungkinan seperti stock darah PMI dan RS habis, serta tidak tertolongnya nyawa seorang manusia yang notabene merupakan ayah yang baik, ibu yang terkasih, maupun sahabat tercinta bagi beberapa orang, dapat terjadi. Dan ini bukan mengada-ada.

           Pikirkan lagi, disuntik sewaktu donor darah memang sakit. Hal ini benar adanya. Namun rasa sakit tsb hanya terasa ±1 detik. Nah, bersediakah anda mengorbankan rasa sakit yang hanya 1 detik ini untuk menyelamatkan nyawa seorang manusia ? meski anda tidak mengenalnya, dan donor yang ikhlas anda lakukan ini tidak memberikan feedback nyata kepada anda. Yakinlah bahwa Allaah yang Maha Mengetahui pasti melihat. Dan saya yakin, suatu kebaikan, pasti dibalas dengan kebaikan pula, entah apapun wujudnya. Wallahu‘alam

usahain baca yah meski tulisan kecil2, hehe

blood can't be manufactured, bro

Entah 60 Tahun lagi, atau Bahkan Esok Hari

Kala itu..
Setelah amukan sang badai berlalu
Engkau pun muncul diantara lautan awan
Duhai rembulan

Cerah ronamu
Dan bulat senyummu
Seolah melegakan hati ini
Dengan berbisik pelan
“ujian berat t'lah kau lalui kawan,
Semua kan baik-baik saja mulai dari sini”

Ingin ku rasanya
Sebelum ajal menjemput
Dapat melihat senyummu lagi
Duhai rembulan
Untuk melegakan hati ini
Sembari berbisik hal yang sama ke sanubariku
Menenangkan jiwaku

Karena hidup yang sebenarnya…
Dimulai saat ajal menjemput… 


Bahas Korupsi ? Kok Sampe Mahasiswa ?

           “Ahmad Fathonah”, sekarang siapa sih yang belum pernah denger nama ini ? bosen banget ndengerin dia di berbagai media, ya TV, ya koran, ya internet. Sore-sore pas spongebob iklan, ane mindah channel, yang keluar berita Ahmad Fathonah. Pindah lagi, keluar berita dengan topik yang sama, cocobi, bosen tenan.Kayaknya berita korupsi udah jadi materi wajib buat media kita. Tapi ngomong soal korupsi, ane punya pengalaman menarik terkait ceramah anti-korupsi. Jadi cerita pendeknya, ane ikut pelatihan dari dirmawa, trus ada materi yang mbahas anti-korupsi.

Langsung aja;
Pada suatu hari, setelah senam dan nonton power rangers di indosiar, kami, para peserta pun berkumpul di aula untuk kemudian masuk ke sesi materi.Sebelum dimulai, bapak pemateri yang ane gatau namanya siapa, memecah keheningan dengan cara yang unik, yakni dengan melemparkan pertanyaan padapeserta. Pertanyaannya cuman 2:

1.      Ada berapa angka “1” dalam urutan angka 1-111 ?
2.      Apa yang akan anda lakukan jika mendapat uang 500 juta rupiah ?

Penasaran ? ya coba pikir dulu, lalu jawab. Menurut bapak tersebut, kalo kita salah jawab pertanyaannya, berarti kita berpeluang untuk korupsi. Wow banget pikir ane, indikasi bahwa kita berpotensi korupsi di masa depan masak bisa diketahui dari 2 pertanyaan sederhana, udah kayak tes sidik jari di primag*ma aja.



            Anyway, setelah ane berpikir2 dan njawab di catetan, ternyata setelah jawaban disebutkan, ane salah semua ! jawabannya adalah:

1.      Ada 35
2.      Ane pikir ini teka-teki biasa, jadi jawab aja deh “untuk investasi”. Eh ternyata salah, jawabannya ternyata, “ditanya dulu maksud si pemberi dalam member iuang”, apakah ada maksud tersembunyi ? apakah ada konsekuensinya ? dalam rangka apa dia memberi uang ?

           “Oh iya ya”, cuman itu yang terlintas di kepala. Ane tersadar, ternyata ketelitian dan kewaspadaan menjadi kunci yang dapat menghindarkan kita dari korupsi,tentunya bila memang dari awal kita niat ikhlas buat kerja jujur. Gak lama kemudian, si bapak menjelaskan bahwa korupsi malah banyak terjadi di kalangan orang-orang pinter (kayak sarjana) yang emosinya kurang terkontrol. Bila terdesak keadaan, mereka dapat menghalalkan segala cara untuk lepas dari keadaan tersebut, termasuk dengan cara korupsi. Oleh karena itu, kita musti berpendirian dari awal, kita ini kerja untuk siapa, apakah untuk diri sendiri  dan keluarga, atau apakah untuk bangsa. Hehe, tapi kontradiktif juga sih,mungkin bagi ane yang masih mahasiswa atau cowok dan cewek aktivis yang duduk di sekeliling ane sekarang, ngomong hal gituan tuh gampang, “kita jangan korup,musti berpendirian, bla bla bla”. Lha wong sekarang ane dan lainnya masih bebas, dalam artian gak punya tanggungan seperti anak istri, juga bebas dalam artian aktivitas organisasi kami masih relatif berada jauh dari lingkaran politik yang keras di luar sana.Coba kalo kita udah punya tanggungan keluarga terkasih, atau kalo kita udah  masuk dalam suatu sistem dimana posisi tawar kita rendah (semisal kita jadi bawahan, dan kalo kita ga nurut atasan, kita bakal dipecat, dan otomatis kita ga bisa ngasih makan anak istri). Tekanan-tekanan kayak gitu lah yang memaksa orang masuk dalam zona “terdesak”, dan ujung-ujungnya segala jalan keluar pun dihalalkan, termasuk korupsi.

           

           Jika mau melihat dengan seksama,mungkin saja banyak dari para pejabat korup sekarang yang dulunya merupakan mahasiswa aktivis yang bahkan suara dan semangatnya lebih dahsyat daripada kita. Namun seperti yang udah ane tulis tadi, bahwa kita para mahasiswa sebenernya masih melihat dunia dengan dua warna yang berbeda jauh, yakni hitam dan putih. Padahal setelah masuk dunia kerja, atmosfer “keras” akan sangat terasa, dan mungkin pandangan kita akan dunia akan berubah drastis setelah masuk “dunia” tersebut. Yang tadinya dua warna, hitam & putih, telah berubah jadi abu-abu… semuanya abu-abu, abu-abu dimana-mana.
            
          Akan tetapi, bukan berarti buah pikiran ane yang sederhana ini serta-merta men-judge bahwa “ngapain menjadi idealis”, “ngapain jadi kritis”, dsb.Bukan juga men-judge mahasiswa aktivis dengan semangat ‘45 nantinya akan melempem atau malah korupsi pas kerja. Menjadi mahasiswa yang punya idealisme tinggi dan semangat membara itu perlu. Ya kalo nggak, siapa lagi yang akan memajukan negeri ini ?
            
         Menurut ane, mumpung kita belum berpikir dan bertindak terlalu jauh dalam memperjuangkan idealisme kita, ada baiknya kita menilik sejenak ke dalam niat kita. Kita ini mau jadi apa sih ?apakah kita mau berguna buat bangsa ? kalo iya, ya dimulai aja dari memperbaiki diri sendiri, setelah itu coba menjadi bermanfaat bagi orang2 di sekitar kita,kalo udah ya terus dilakukan dengan konsisten. Syukur kalo nanti lingkup kebermanfaatan kita jadi makin lebar dan terus melebar. Jadi step by step lah dalam melangkahi kehidupan. Huff, semoga aja ane juga ga salah langkah. Baru mau melangkah soalnya, hehe.




Tuesday, September 3, 2013

Press Release UKM Merpati Putih UGM

          Termasuk sebagai budaya bangsa Indonesia yang bernilai tinggi, pencak silat merupakan salah satu budaya yang paling berharga untuk dilestarikan. Hal ini dikarenakan pencak silat merupakan budaya yang telah berumur ratusan tahun, dan bahkan telah digunakan untuk melawan penjajah, yang berujung pada merdekanya Nusantara ini. Oleh karena itu, sudah barang kewajiban bagi kita semua untuk menjaga pencak silat agar tetap hidup, tidak terkecuali bagi Sang Kampus Kerakyatan. UGM sendiri hingga saat ini telah menjaga hidup 4 UKM pencak silat, salah satunya adalah UKM Merpati Putih.
            
          UKM Merpati Putih, atau yang kerap disebut “MP”, merupakan UKM yang mewakili perguruan yang berdiri di Jogja pada 2 April 1963 ini. Selama masa berdirinya, UKM MP tidak hanya mengajarkan ilmu beladiri semata, namun juga esensi dari perguruannya sendiri, yang berisi tata krama dan pengembangan mental serta karakter. Saat ini MP UGM sendiri telah berkembang pesat. Hal ini terbukti dengan adanya 58 anggota aktif terhitung Februari 2013, serta berbagai prestasi yang diperoleh, seperti; Juara 1 kategori power putri dalam IPB Open se-Jawa pada November 2012, Juara Umum Kejuaraan antar Kolat (perguruan tinggi & SMA) MP se-Sleman 2x berturut-turut pada Mei 2012 dan Februari 2013 lalu.

            Selain aktif pada penambahan jumlah anggota serta prestasi, MP UGM juga aktif dalam mengadakan maupun mengikuti kegiatan. Contoh kegiatan besutan MP UGM sendiri antara lain; Kejuaraan Antar Kolat (Kejurlat) se-Sleman pada Mei 2012, dan berikutnya pada 8-9 Juni mendatang di Hall Gelanggang UGM, acara HUT MP yang ke 50 dan dihadiri oleh ±140 orang dari seluruh MP Sleman, dan masih banyak lainnya. Selain itu, contoh kegiatan yang diikuti oleh MP UGM antara lain; IPB Open pada November 2012, Kejurlat Sleman pada Februari lalu, Jambore Nasional MP yang disebut “Tradisi” dan diadakan tiap tahun, Penataran Pelatih Atlet MP pada April kemarin, Kejuaraan Dunia MP “Lokawulung” pada Oktober mendatang, dan masih banyak lagi.

            Terlepas dari itu semua, UKM MP UGM sangat berharap agar ke depannya, Sang Kampus Kerakyatan bersedia mendukung penuh, baik UKM maupun Perguruan Merpati Putih untuk dapat terus berkarya dan berprestasi. Karena UKM dan perguruan ini merupakan sarana pengembangan diri yang amat efektif, yang kemudian mampu berujung pada suksesnya individu-individu UKM MP UGM, dan untuk selanjutnya dapat mengharumkan nama bangsa Indonesia di hadapan dunia. Sesuai dengan Motto“ 50 Tahun Emas Merpati Putih” yakni Bentangkan Sayap, Taklukkan Dunia.

contact: