Globalisasi? kata yang satu ini nampaknya telah amat akrab di telinga kita. Saking akrabnya, kita mungkin mengira globalisasi hanya sebuah fenomena biasa yang sudah sepatutnya terjadi di dunia modern ini. Memang tidak salah juga, mengingat kemajuan teknologi dan informasi berkembang dengan pesat.
Seiring waktu, globalisasi banyak menunjukkan manfaat bagi masyarakat dunia dalam hal efisiensi waktu dan kemudahan berinteraksi antar kontinen. Ekspansi perdagangan, pertumbuhan pasar, arus informasi dan kemudahan akses ke seluruh belahan dunia menjadi primadona dari produk positif globalisasi itu sendiri. Meski demikian, globalisasi tidak melulu membawa dampak positif. Muncul kegalauan bahwa orang-orang yang terpengaruh globalisasi ini kualitas hidup dan perekonomiannya akan cenderung terguncang.
Sebagai penggambaran yang mudah – kita saat ini hidup di dalam dunia global yang praktis, semuanya dituntut untuk serba cepat dan terbaik. Bila seseorang atau suatu negara lebih lambat daripada yang lain, maka ia akan tertinggal bahkan tertindas. Dengan kata lain, semua dituntut untuk berkompetisi antara satu sama lain.
Lebih lanjut, negara berkembang dan negara maju memang sama-sama terdaftar dalam WTO (World Trade Organization). Namun, tetap saja keduanya tidak akan dapat berdampingan dengan seimbang. Globalisasi dan WTO hanya dijadikan suatu media bagi negara maju untuk “menjajah” negara berkembang secara ekonomi, memanfaatkan tenaga kerja murah, hasil bumi melimpah, dll. Akibatnya, para rakyat negara berkembang pun mau tidak mau harus bekerja keras untuk dapat mengimbangi keperkasaan negara maju. Inilah yang dinamakan kompetisi.
Ketika rakyat negara berkembang yang notabene makin maju, pihak negara adidaya pun tidak mau kalah. Padahal bila ditilik secara mendasar, para pihak yang bersaingan ini hanyalah manusia biasa yang tetap perlu memenuhi kebutuhan sosial dan biologisnya. Orang-orang ini tidak sadar bahwa dengan tekanan pekerjaan dari negara dan persaingan yang sedemikian rupa dapat menyebabkan seseorang lupa akan hakikat hidup manusia – yakni bersosialisasi, baik dengan manusia maupun lingkungan alam sekitarnya. Tak heran, fenomena stress dan depresi pun menjadi mudah ditemui di masa kini.
Di sisi lain, kemajuan teknologi seperti cepatnya informasi juga menambah hilangnya kualitas hidup dan identitas manusia. Mungkin kemajuan teknologi memang mendukung dalam hal bisnis dan media. Namun kemajuan teknologi ini juga memisahkan hubungan antar manusia itu sendiri. Istilah yang dapat digunakan adalah “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Contohnya dalam suatu makan malam keluarga, tradisi telah berubah – dulu satu sama lain saling bercerita, kini satu sama lain hanya saling diam sambil mengetik sesuatu di hand phone masing-masing.
Untuk soal identitas dapat dilihat pada bangsa Indonesia sebagai contohnya. Di Bantul, Jogjakarta, terdapat desa bernama Kasongan yang mata pencaharian warganya berasal dari kerajinan gerabah yang mereka buat. Kerajinan tersebut berpangsa pasar utama di mancanegara, karena memang banyak warga Eropa yang menyukai gerabah Kasongan karena nilai tradisionalnya. Dari contoh singkat ini, dapat dilihat bahwa nilai tradisional Indonesia memang berhasil mengglobal. Namun fenomena seperti ini masih sangat jarang terjadi di Indonesia. Coba hitung saja berapa nilai tradisional Indonesia yang berhasil mengglobal dan hitung nilai globalisasi yang berhasil menyatu dalam tradisi lokal, kemudian bandingkan. Ironisnya, nilai global yang masuk ke tradisi lokal-lah yang unggul lalu berhasil menggeser nilai budaya bangsa Indonesia.
Karena dunia saat ini telah terlanjur larut dalam fenomena globalisasi, maka cara yang digunakan suatu negara untuk berubah juga tidaklah mudah, namun tetap dapat dilakukan. Perlu diingat bahwa melepaskan diri dari “cengkeraman” globalisasi bukan berarti melepas semua keterkaitan suatu negara dari perkembangan global, karena hal ini terlalu radikal, bahkan demi kepentingan naiknya kualitas hidup manusia yang telah disebutkan sebelumnya. Namun paling tidak, suatu negara seperti Indonesia bisa melonggarkan diri dari jeratan ekspansi ekonomi negara-negara maju.
Salah satu cara yang dapat dipakai ialah dengan memilih sosok pemimpin nasionalis yang berani merubah sistem. Dalam hal ini, si pemimpin harus mampu berperan mengakomodasi kepentingan dan identitas nasional semaksimal mungkin. Semua produk domestik didorong untuk dapat maju bersaing dan SDM dikembangkan lebih jauh – bila perlu disekolahkan ke luar negeri. Meski kebijakan semacam ini menuai kontroversi karena akan mengorbankan alokasi dana untuk hal lain ataupun mungkin juga akan dikecam negara-negara maju, namun baiknya tetap harus dilakukan. Karena sebuah perubahan ke arah negara yang mandiri membutuhkan suatu pengorbanan.
Dengan kata lain, kegalauan ekonomi kita dalam menghadapi globalisasi ini tidak bisa dengan cara menolaknya mentah-mentah, melainkan bersikap bijak demi menyerap efek positifnya dan memangkas efek negatif dari ekonomi liberal maupun pasar bebasnya.
*telah diedit dan dimuat oleh http://unsa27.net/ sebagai artikel pilihan Juni 2013