Akhir2 ini ramai orang2, baik di medsos
ataupun di media2 lain membicarakan konflik di Tolikara. Ya, ane rasa semua
udah tau kasusnya. Tentang masjid yang terbakar. Entah disengaja ataupun tidak,
oleh sekelompok pemuda dari GIDI. Berita ini kemudian meluas ke seantero tanah
air dengan bantuan medsos dan berita2 media massa. Namun sayangnya, berita
tersebut tersebar dengan berbagai macam variasi; ada yang mengatakan bahwa
masjid tsb sengaja dibakar, ada yg bilang bahwa pemuda GIDI hanya membakar kios
tapi api merembet ke masjid; ada yang mengatakan bahwa ini ulah oknum yang
ingin memecah kerukunan umat beragama, dll. Berbagai berita tersebut pun bahkan
dilengkapi oleh bumbu yang seolah membuat validitasnya “jelas” dan “terjamin”.
Seperti kalimat pembuka, “menurut Ustadz A yang menjadi blablabla di Papua…”,
atau menurut Pendeta B yang sekaligus menjadi blablabla…”.
Kebakaran masjid dan kios di Tolikara |
Bermacam
berita tersebut kemudian dilepaskan ke masyarakat, dan banyak yang dilepas ke
media sosial. Termasuk berita provokatif. Bagi orang yang mau berfikir, mungkin
tak serta merta dapat ikut terprovokasi. Namun kenyataan di media sosial tidak
demikian. Banyak dari masyarakat medsos yang mudah tersulut kata2 provokatif
dari berita yang tidak sehat. Misalnya, ketika masjid Tolikara terbakar.
Beberapa kelompok Islam di Solo langsung mengangkat panji dan mengajak
masyarakat melalui medsos. Mereka kemudian beramai2 menutup salah satu gereja
GIDI di Solo. Aah, sudahlah ~ mungkin kalian lelah. Itu kan balas dendam
namanya. Ibarat si A yang Kristen, memukul B yang Islam (entah sengaja
memukul/tidak). Kemudian si C, sepupu si B, membalasnya dengan memukul si D,
yang merupakan saudara si A. Padahal sebelumnya si C dan D ini tak pernah ada
masalah. Dan semua ini terjadi karena… Yap, berita provokatif.
Dan
meski ane juga awam dalam hal agama, setau ane Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamin, “rahmat bagi seluruh alam”. Asal kata “Islam” sendiri juga dari kata
“salam” yang berarti “selamat”. Nah, selamat buat siapa ? ya bagi seluruh alam.
Agama ini banyak mengajarkan perdamaian, seperti konsep sederhana tentang
habluminallah (hubungan ke Allah) dan habluminannas (hubungan sesama manusia).
Artinya, dalam Islam sebenarnya lebih memprioritaskan perdamaian ketimbang
permusuhan. Rasulullah aja diludahi tiap hari sama pengemis buta, malah dikasih
makan si pengemisnya, disuapi lagi.
ayo broh |
Sama halnya dengan kita dalam menyikapi kasus
Tolikara (atau kasus manapun). Boleh dan wajar jika kita sempat berprasangka,
bahkan benci. Karena itu manusiawi. Tapi dalam hal tindakan, jelas tak boleh
bila kita membalas dengan kebencian. Ingat bahwa Om Newton pernah berkata bahwa
jumlah reaksi pasti sama dengan aksi yang dibuat. Bila kita ikut2an dalam hal
negative, apalagi sampai bertindak negative, seperti penutupan gereja secara
sepihak dan tanpa alasan rasional yang jelas. Maka suatu hari akan ada pihak
yang membalas perlakuan kita. Namun korbannya mungkin bukan kita, melainkan
saudara seiman kita ditempat lain
Dan daripada melakukan hal demikian, lebih baik
untuk kita berbuat aksi nyata. Seperti sedekah ke mereka yang membutuhkan. Bisa
lewat kotak infaq masjid, lembaga sosial seperti Dompet Dhuafa, atau bahkan
lewat website crowdfunding seperti https://kitabisa.com/ . Lebih baik lagi
bila kita mampu merangkul teman2 non-muslim untuk bisa “satu suara” dengan
kita. Karena Jihad tak melulu soal kekerasan bukan ?
No comments:
Post a Comment