Tentang Ane

Friday, July 24, 2015

(Menolak) Berpikir Negatif dalam Tolikara



        Akhir2 ini ramai orang2, baik di medsos ataupun di media2 lain membicarakan konflik di Tolikara. Ya, ane rasa semua udah tau kasusnya. Tentang masjid yang terbakar. Entah disengaja ataupun tidak, oleh sekelompok pemuda dari GIDI. Berita ini kemudian meluas ke seantero tanah air dengan bantuan medsos dan berita2 media massa. Namun sayangnya, berita tersebut tersebar dengan berbagai macam variasi; ada yang mengatakan bahwa masjid tsb sengaja dibakar, ada yg bilang bahwa pemuda GIDI hanya membakar kios tapi api merembet ke masjid; ada yang mengatakan bahwa ini ulah oknum yang ingin memecah kerukunan umat beragama, dll. Berbagai berita tersebut pun bahkan dilengkapi oleh bumbu yang seolah membuat validitasnya “jelas” dan “terjamin”. Seperti kalimat pembuka, “menurut Ustadz A yang menjadi blablabla di Papua…”, atau menurut Pendeta B yang sekaligus menjadi blablabla…”. 

Kebakaran masjid dan kios di Tolikara

            Bermacam berita tersebut kemudian dilepaskan ke masyarakat, dan banyak yang dilepas ke media sosial. Termasuk berita provokatif. Bagi orang yang mau berfikir, mungkin tak serta merta dapat ikut terprovokasi. Namun kenyataan di media sosial tidak demikian. Banyak dari masyarakat medsos yang mudah tersulut kata2 provokatif dari berita yang tidak sehat. Misalnya, ketika masjid Tolikara terbakar. Beberapa kelompok Islam di Solo langsung mengangkat panji dan mengajak masyarakat melalui medsos. Mereka kemudian beramai2 menutup salah satu gereja GIDI di Solo. Aah, sudahlah ~ mungkin kalian lelah. Itu kan balas dendam namanya. Ibarat si A yang Kristen, memukul B yang Islam (entah sengaja memukul/tidak). Kemudian si C, sepupu si B, membalasnya dengan memukul si D, yang merupakan saudara si A. Padahal sebelumnya si C dan D ini tak pernah ada masalah. Dan semua ini terjadi karena… Yap, berita provokatif.

            Dan meski ane juga awam dalam hal agama, setau ane Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, “rahmat bagi seluruh alam”. Asal kata “Islam” sendiri juga dari kata “salam” yang berarti “selamat”. Nah, selamat buat siapa ? ya bagi seluruh alam. Agama ini banyak mengajarkan perdamaian, seperti konsep sederhana tentang habluminallah (hubungan ke Allah) dan habluminannas (hubungan sesama manusia). Artinya, dalam Islam sebenarnya lebih memprioritaskan perdamaian ketimbang permusuhan. Rasulullah aja diludahi tiap hari sama pengemis buta, malah dikasih makan si pengemisnya, disuapi lagi. 


ayo broh
              Sama halnya dengan kita dalam menyikapi kasus Tolikara (atau kasus manapun). Boleh dan wajar jika kita sempat berprasangka, bahkan benci. Karena itu manusiawi. Tapi dalam hal tindakan, jelas tak boleh bila kita membalas dengan kebencian. Ingat bahwa Om Newton pernah berkata bahwa jumlah reaksi pasti sama dengan aksi yang dibuat. Bila kita ikut2an dalam hal negative, apalagi sampai bertindak negative, seperti penutupan gereja secara sepihak dan tanpa alasan rasional yang jelas. Maka suatu hari akan ada pihak yang membalas perlakuan kita. Namun korbannya mungkin bukan kita, melainkan saudara seiman kita ditempat lain



             Dan daripada melakukan hal demikian, lebih baik untuk kita berbuat aksi nyata. Seperti sedekah ke mereka yang membutuhkan. Bisa lewat kotak infaq masjid, lembaga sosial seperti Dompet Dhuafa, atau bahkan lewat website crowdfunding seperti https://kitabisa.com/ . Lebih baik lagi bila kita mampu merangkul teman2 non-muslim untuk bisa “satu suara” dengan kita. Karena Jihad tak melulu soal kekerasan bukan ?

No comments:

Post a Comment