Akhirnya kemaren ane sempet ndengerin
“kuliah”nya Pak Revrisond Baswir, pada saat kultum beliau pasca tarawih di Gelanggang. Beliau adalah dosen FEB, dan bergerak di
bidang ekonomi kerakyatan. Di UGM, Pak Revrisond ini menjabat sebagai Ketua
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Di luar, beliau menjabat sebagai salah satu
jajaran komisaris BNI. FYI, beliau ini adalah salah satu dosen yang ane kagumi.
Ane pertama kali mendengar pemikirannya, dari kawan2 se kontrakan ane yang anak
FEB. Zukhruf, Bagong, Bayek, bahkan Saukat dulu bercerita mengenai pemikiran
salah satu dosen mereka yang “kelainan”.
“Kelainan”
disini bukan berarti agak miring lho ya. Bukan. Pemikiran beliau ane sebut
“kelainan” karena diantara dosen-dosen FEB lainnya, bahkan dosen Fisipol yang
berfokus ekonomi, pemikirannya amat berseberangan. Beliau menganut pandangannya
sendiri, yakni ekonomi kerakyatan. Yang berarti, suatu keputusan ekonomi
idealnya diambil oleh banyak elemen masyarakat dengan cara partisipasi. Bukan
hanya oleh segelintir orang yang mempunyai modal (capital).
Dengan kata lain, ekonomi
kerakyatan ini adalah lawan dari kapitalisme; sebuah paham yang menggunakan capital
sebagai sentral gerakan perekonomian. Kenapa hingga beliau sebut “lawan” ?
karena dalam sistem kapitalisme, capital seseorang menjadi senjata
utamanya dalam melakukan kegiatan ekonomi. Kekuatan seseorang/satu pihak diukur
dengan berapa banyak capital yang ia miliki. Metode penambahan capital
sendiri dilakukan dengan cara persaingan bebas di pasar. Daan, kalo udah
mainnya persaingan bebas di pasar, berarti mereka bermain zero sum game. Kemenangan
satu pihak, berarti kekalahan di pihak lainnya. Ketika satu pihak berhasil
menjadi sosok dominan di pasar (entah sendiri/bekerjasama dengan lainnya), maka
produk nya kan laku. Otomatis capital nya akan menjadi besar. Dan bagi
mereka yang kurang laku, capital nya bakal jadi kecil. Terus kalah,
terus tersingkir dari pasar deh. Keadaan pun menjadi layaknya hukum rimba.
"mini" market tenanan ki |
Menurut Pak Revrisond, ekonomi kerakyatan
dapat menjawab permasalahan kapitalisme tersebut. Karena sistem ini berfokus
pada “pemerataan”, bukan pada penumpukan capital. Pemerataan berarti
sumberdaya ekonomi dapat dibagi secara merata di masyarakat. Yang dinamakan
modal/capital, bukan lagi milik perseorangan. Namun menjadi milik
bersama. Keputusan ekonomi pun dibuat bersama, dengan musyawarah. Beliau
kemudian memberikan contoh konkret sistem ini, yakni koperasi. Dalam koperasi,
modal dimiliki oleh bersama melalui iuran anggota. Keputusan pun dibuat bersama
melalui musyawarah anggota. Bahkan laba pun dibagi bersama, dengan jatah yang
proporsional, melalui Sisa Hasil Usaha (SHU). Inilah yang dinamakan ekonomi
kerakyatan, praktek yang selaras dengan demokrasi (impian) kita; dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat.
Kelihatan ideal banget
ya ? apalagi buat orang sosialis.
Namun dalam praktek pelaksanaannya. Ekonomi kerakyatan dan koperasinya ini
terganjal banyak sekali hambatan. Yang pertama dan terbesar adalah hambatan
dari kondisi masyarakat kita saat ini yang telah terlanjur “biasa wae” dengan
kapitalisme. Kita merasa wajar, bila sekedar membeli snack ke Alfm**t
atau Indom***t, itupun pas jam2 biasa, dimana ada toko kelontong di samping
kosan kita yang menjual produk yang sama. Kita merasa biasa, bila membeli kopi
di Starb*** atau donat di Dunk**. Padahal produk yang sama juga dijual di kedai2
dan kafe2 lokal. Kita merasa kekinian, bila membeli produk fashion di gerai2
asing, ketimbang membeli di gerai2 dan butik lokal. Dan masih buanyak lagi
contoh lainnya. Intinya, mindset orang Indonesia sendiri lah yang
menjadi akar permasalahannya disini.
dari ugm.ac.id: Revrisond Baswir |
Tidak dipungkiri, bahwa
rasa nasionalisme memegang peranan penting disini. Tanpa rasa nasionalisme,
ekonomi kerakyatan tak akan berjalan optimal. Mengapa ? karena sederhananya;
kini kapitalisme telah tertancap kuat dalam pikiran kita. Padahal kapitalisme
adalah produk asing, sekaligus lawan dari ekonomi kerakyatan yang merupakan cita2
Indonesia. Berarti kan untuk bisa cinta produk Indonesia (ekonomi kerakyatan),
perlu mindset nasionalis dahulu untuk menghapus rasa cinta terhadap
produk asing tadi bukan ?
Kesimpulannya, ekonomi kerakyatan adalah sistem
yang sangat cocok untuk Indonesia. Karena sistem ini fokus pada pemerataan,
serta mampu memperkuat kelas menengah sebagai kelas mayoritas di Indonesia,
untuk menggusur dominasi para pemilik capital. Pak Revrisond
memperjuangkan sistem ini dengan caranya sendiri, cara dosen sekaligus tenaga
ahli. Sedangkan kita, yang masih jadi kotoran kuku ini, bisa memperjuangkan
sistem ini dengan cara kita sendiri. Yakni dengan kata kunci; memberi untuk
mensejahterakan orang lain. Misal; beli di toko kelontong, beli di temen yang
sedang melakoni entrepreneurship, banyak2 infaq dan sedekah ke pihak
yang membutuhkan (ini juga sosialisme gan, dapet pahala pula), mengurangi beli
produk asing, dll. Bila ada yang mbaca, semoga yang sedikit ini bisa menambah
wawasan. Bila ada yang mbaca dan ga cocok, kritik yo gapapa. Hahahah.
No comments:
Post a Comment