Selasa (21/7). Hari ini masih bersantai ceria. Harusnya
pagi tadi ke rumah arum bareng temen2 ips 1 buat njenguk bayinya arum. Tapi
malah ketiduran sampe jam 11 pagi. Hadehh. Anyway, kemaren ane habis ke rumah
mbah Narwan di Pengkok, Sragen. Berdua, Cuma sama Bahar doang. Dan kami pun dapet banyak cerita
heboh. Hehehe.
Sore
kemarin, selepas ashar, ane dan bahar langsung ngegas ke Sragen. Cuma kami
berdua yang berangkat, karena ibu masih belum bisa jalan. Dan otomatis, bapak
nemenin ibu. Alhasil, kami lah yang berangkat untuk mewakili mereka. Mobil demi
mobil kami lalui, “Ah rame juga ya jalannya sekarang, mungkin karena lagi arus
balik”, pikir ane. Dan benar, begitu masuk ringroad ke arah Sragen, buanyak
betul mobil2 berjajar memanjang kedepan, entah sampai mana. Banyak dari mereka
ber plat nomor “L”, yang berarti plat Surabaya. Jadilah kami berkendara perlahan
sambil mlipir2 di tanah berpasir kiri jalan, berusaha menghindari aspal yang
sesak dengan kendaraan roda empat. “Ngeeengg”, kami terjang teruus kemacetan.
Bablas sampe desa Pengkok, Sragen.
MahaPatih GadjahMada. Beliau dulu pasti joss sekali |
Sesampai
disana, kami disambut oleh Mbah, Lek Walid, Bulek Nia, dan seorang tetangga
mbah. Suasananya damai dan tentram seperti biasa. Ane memang lebih suka
atmosfer di Sragen sini ketimbang di Sukoharjo. Meski keduanya sama2 bersuasana
“keluarga”, namun di Sragen, rasanya lebih tenang. Mungkin karena Pak Lek dan
Bulek ane disini kebanyakan para ahli ibadah, orang alim. Pasalnya, dari 7 anak
Mbah disini, kira2 4 atau 5 (lupa) diantaranya adalah hafidz & hafidzah.
Yap, apal qur’an bro. Banyak diantara beliau2 ini yang berprofesi sebagai guru
ngaji, ustadz tahfidz, bahkan Lek Walid punya pondok sendiri. Subhanallah
banget lah. Para sepupu ane yang masih kecil2 itu juga, hampir semuanya mondok.
Banyak yang di Magetan/Surabaya. Cuman ane, adik, serta seorang sepupu cewe,
yang ga mondok. Jadi, mungkin hal tersebut lah yang menjadikan panasnya Sragen
seolah tak terasa ketika berada di rumah mbah.
Pangeran muslim + Panglima perang. Keren |
Sore
itu, kami mendengar cerita Mbah dan Lek Walid mengenai riwayat keluarga.
Ternyata banyak diantara kakek dan buyut2 kami yang berstatus sebagai ahli
ibadah, sekaligus jawara. Mulai dari Mbah sendiri, kemudian mbah canggah ane,
dst. Dari Mbah2 leluhur kami yang hidup pada tahun 1800an, mereka ternyata
sudah ikut Perang Diponegoro. Jelas, beliau orang islam tapi kejawen dan sakti.
Memasuki jaman Belanda pada tahun 1900an awal, cerita mbah2 (mbah kan ada lebih
dari 1, beserta sodara2nya) ini teriwayatkan dengan lebih jelas. Diceritakan
bahwa ada mbah yang menggembala kambing ditemani oleh harimau; Ada yang melawan
Belanda hanya dengan bambu runcing, dan saat ditembak, yang berlubang hanya
pakaiannya. Badannya ? Ga tergores; Ada pula yang mampu menjebol gembok
super-gede yang dipakai tentara Jepang untuk mengunci sumber air warga, dengan
tangan kosong; Ada yang mampu memindahkan batu sebesar rumah, seorang diri,
hanya dalam waktu semalam !; Ada pula yang mampu menyembuhkan segala penyakit
(tahun 1950an); Hingga Mbah Narwan sendiri, yang dahulu menjadi Ketua Banser
Surakarta. Karena pengaruhnya di Sragen yang menampung orang2 Islam buruan PKI,
serta meng-islamkan orang2 PKI desa. Mbah menjadi target pembunuhan PKI pada
saat Gestapu. Karena saat itu saat darurat, antara umat Islam yang dibunuh PKI,
atau sebaliknya. Mbah menggunakan “amalan2” dari orang2 terdahulu, sehingga
berhasil membunuh para PKI yang ditembak peluru tajam pun tak bergeming. Baru
sewaktu PKI berhasil dihilangkan dari Indonesia, Mbah kembali ngaji dan
meninggalkan semua amalan sewaktu perang kemarin.
Hehehe, seru sekali ternyata mendengarkan cerita
mbah. Ane sih percaya akan kekuatan orang2 jaman dahulu. Lha wong tirakat dan
meditasi aja masih jadi hobi. Tidak heran bila orang2 Indonesia dulu mempunyai
“ilmu” yang lain daripada yang lain. Namun di zaman global seperti kini, kekuatan2 tersebut sudah mulai sirna; menjadi sebatas relik dan kejayaan masa lalu. Hhh, sayang ya.
No comments:
Post a Comment